Masih ingatkah anda ketika masih duduk di bangku sekolah, saat mendengar bapak atau ibu guru bercerita tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara? “Agama Islam,” kata mereka, “… masuk ke Nusantara lewat para pedagang dari Gujarat, India.” Kini, puluhan tahun kemudian, coba buka buku sejarah anak-anak anda. Lihat bab mengenai masuknya Islam di Nusantara. Ternyata, masih banyak buku teks sejarah di sekolah-sekolah kita yang juga menuliskan jika Islam masuk di Nusantara lewat Gujarat di abad ke-13 Masehi. Hal ini diyakini berdasarkan catatan Marco Polo yang pada 1292 pernah singgah di Sumatera Utara dan menemukan sebuah kampung di mana warganya Muslim, lalu juga nisan makam Sultan Malik al-Shaleh yang berangka 1297 M.
Teori yang menyebutkan Islam masuk di Nusantara berasal dari Gujarat secara populer disebut sebagai Teori Gujarat. Teori ini berasal dari seorang orientalis Belanda yang mengaku-aku masuk Islam bernama Snouck Hurgronje. Ironisnya, oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional, teori yang sesunguhnya penuh racun ini seolah dijadikan pembenaran tunggal bagi sejarah masuknya Islam di Nusantara.
Padahal, teori Gujarat tersebut banyak mendapat tentangan, bukan saja dari para intelektual Muslim, seperti HAMKA dan juga sejarawan Mansyur Suryanegara, namun juga dari intelektual Barat, dengan segala fakta-fakta arkeologis dan literatur kuno yang ditemukan.
Salah seorang penentang Teori Gujarat van Hurgronje adalah Prof. Dr. HAMKA yang menegaskan jika seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang berdiam di pesisir Barat Sumatera. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.
Temuan HAMKA diamini oleh Peter Bellwood seorang Reader in Archaeology di Australia National University, yang telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara. Bellwood menemukan bukti-bukti jika sebelum abad kelima masehi, yang berarti Rasulullah SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini. Bellwood dalam catatan kakinya3 menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina. Menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan seorang raja dengan wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru berdiri pada 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985).
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara-terutama Sumatera dan Jawadengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G.R. Tibbetts. Tibbetts meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra-Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu. “Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi.(4) Bahkan peneliti sejarah kuno dari London University, Robert Dick-Read, lebih berani lagi dengan menyatakan jika pada masa awal Masehi, pelaut-pelaut Nusantara telah menjadi pioner bagi jalur perdagangan dunia hingga ke benua Afrika. Bahkan perdagangan bangsa Cina sangat tergantung pada jasa pelaut-pelaut Nusantara dalam mengarungi samudera luas.
Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M-hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab-di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.
Disebutkan pula bahwa di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).(6) Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh. Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya. Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Di masa sebelum masehi, sangat sulit menemukan catatan tua di Jawa yang bisa membuka selubung gelap sejarah awalnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno yang berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.
Sejarahwan T.W. Arnold menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam langsung dari jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.(7) Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini; misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali)m diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara.(8) Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini setidaknya menyatakan jika Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M.(9)
Sejarawan asal Bandung, Mansyur Suryanegara, berpegangan pada banyak literatur kuno dan berbagai penelitian yang ada meyakini jika Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Bahkan Mansyur berani menyatakan jika pedagang-pedagang dari Nusantara jauh sebelum Rasulullah diangkat menjadi Rasul SAW telah melakukan perdagangan sampai di Syam. “Bukan hal yang mustahil jika sesungguhnya para pedagang asal Nusantara telah melakukan kontak dengan Rasulullah di Syam, mengingat Rasulullah SAW juga seorang kepala kabilah dagang di Syam saat mudanya, yaitu membawa barang-barang dagangan dari Khadijah,” ujar Mansyur Suryanegara.(10) Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Mekkah ke seluruh Jazirah Arab. Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam
Sumber : Kaskus
Terima Kasih
0 Komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* : 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Komentar Anda !!!!!