
Untuk memahaminya, nampaknya kita tidak bisa melepaskan diri dari perspetif sejarah dan social politik. Kita nampaknya harus kembali ke zaman sesudah Perang Dunia Pertama. Perang ini telah mendegradasi pengaruh Imperium Ottoman (Turki Utsmany) nan fenomenal itu. Inggris kemudian muncul sebagai penguasa utama. Imperium Ottoman yang mulai lemah tidak bisa secara maksimal menjaga tanah-tanah taklukan mereka dari Istanbul hingga Rabat, Maroko di Afrika Utara. Banyak daerah taklukan ini luput dari “kawalan” Kekhalifahan Ottoman. Maroko jatuh ke tangan Spanyol, Libya masuk dalam genggaman Mussolini-Italia. Tunisia dan Aljazair menjadi taklukan Perancis, sedangkan Mesir dikuasai Inggris. Syiria dan Lebanon secara politik berada dibawah kekuasaan Perancis. Sejarah kemudian mencatat, Keluarga Saud ditabalkan oleh Inggris tahun 1932 di Semenanjung Arab. Irak dan negara Teluk dipecah-pecah untuk tujuan – pecah dan perintah. Inggris sebagai sebagai salah satu neagara colonial berpengaruh pada masanya, menjalankan praktek paling asali dari kolonialisme, mengadu domba satu negara Arab dengan yang lain. Kolonialisme, kata Noam Chomsky, merupakan hasil dari perkembangan kapitalisme. Pasar dan pemasaran merupakan kata kunci kolonialisme, sekaligus juga asumsi dasar dari kapitalisme. Kekuasaan imperialism dan kaum pemodal memerlukan bahan mentah dari tanah jajahan mereka, sekaligus menjadi konsumen dari produk yang telah dibuat. Hukum dan syarat ini tak lekang dan tak pernah berubah.
Tahun 1938, dunia Arab berubah. Minyak untuk kali pertama ditemukan di Saudi Arabia. Karena gula, semut-pun berdatangan. Penemuan minyak ini telah mengundang datangnya perusahaan-perusahaan minyak dari luar Arab. Bila Saudi Arabia adalah pucuknya, pasti dahannya banyak bercabang. Akhirnya, perusahaan-perusahaan minyak ini berlomba-lomba melakukan penggalian. Benarlah kiranya, dahan minyak yang pucuknya di Saudi Arabia ini ternyata banyak. “Emas hitam” kemudian dijumpai di negara-negara Teluk, Iran, Irak, Libya, Mesir dan Aljazair. Penemuan minyak ini membuat sistem ekonomi kapitalis berkembang pesat. Minyak telah menjadi bahan yang teramat strategis. Bahkan beberapa kajian sejarah mengetengahkan bahwa salah satu penyebab terjadinya Perang Dunia ke-2 meletus, berawal dari perebutan bahan bakar minyak ini. Jerman yang kalah pada perang Dunia pertama, tidak mau ketinggalan dalam upaya menaklukkan tanah Arab. Jerman tak memiliki sumur minyak karena itu, ekonomi Jerman tidak akan berkembang. Hitler kemudian kemudian mengambil keputusan untuk melancarkan peperangan. Konon, setelah perang pecah, Hitler berusaha merampas telaga-telaga minyak di negara-negara Arab yang dimiliki oleh Inggris. Perang bergejolak. Bahan bakar minyak inilah yang menjadi hukum dan syarat yang menjadikan suasana di Timur Tengah terus hangat dan menggelegak semenjak 60 tahun lalu hingga sekarang.

Selama lebih kurang 50 tahun, strategi inilah yang dilakukan oleh kaum imperialis, setidaknya demikian yang pernah diutarakan oleh Noam Chomsky dan Edward Said. Minyak dan gas disedot dari “tanah” Arab, uangnya digunakan untuk beli senjata – walau sebenarnya pasti banyak juga dialokasikan untuk kepentingan rakyat mereka, tapi tetap pembelian senjata yang sangat tidak proporsional, memperkuat asumsi ini. Dalih mempertahankan diri dari Israel yang di-“hantu”-kan itu, pembelian senjata terus di-update. Bila kepentingan terjaga, maka mereka dimasukkan dalam kategori “kawan”. Lalu lihatlah, kala praktek demokrasi dan hak asasi Manusia tak berjalan bagus di negara-negara, Amerika Serikat dan Inggris tetap tidak ambil peduli, karena memang itu tadi …. Kepentingan mereka akan lebih terjaga dengan kondisi demikian, walau untuk kasus-kasus yang lain, seumpama Iran, Amerika Serikat dan Inggris akan berteriak lantang tentang praktek demokrasi, HAM dan nuklir. Padahal dibawah “ketiak” mereka, tiga persoalan ini terlihat sebesar “gajah”.
Lalu mengapa para rezim Arab ini tunduk dan takut ? Jawabannya simple. Pakar Timur Tengah LIPI, Riza Sihbudi, mengatakan bahwa mayoritas semua rezim di tanah Arab tersebut tidak memiliki otoritas dari rakyat. Dari Maghribi hingga ke negera-negara Teluk, para pemimpin, Sheikh dan Malikul Negara-negara ini dinaikkan ke atas tahta bukan karena dukungan mayoritas rakyat mereka, tapi lebih karena dukungan Anglo-Amerika. Saudi Arabia dan Yordania, misalnya, Inggris yang meletakkan “tahta” mereka. Memang betul ada beberapa negara, seperti Mesir, Irak atau Syria telah mengadakan Pemilihan Umum – tetapi semuanya sandiwara. Pemilu ataupun apalah namanya di bebeberapa negara teluk, lebih mirip dagelan. Itu bukan kata saya. Semua ilmuan politik yang intens pada kajian Timur Tengah mengatakan hal demikian."> Yang pasti, kontradiksi utama adalah diantara warga Arab dengan regim - regim Arab yang telah menjadi “perkakas” Anglo-Amerika plus Israel. Penentangan warga Arab ini juga bermakna bahwa mereka juga menentang Anglo-Amerika dan regim zionis Israel. Melawan Mubarak, Ben Ali,Bani Saud, Al-Makhtoum, Sultan Qabuus, sama seperti melawan pengaruh Anglo- Amerika dan zionis Isreal. Kita akan lihat satu kontradisi baru akan muncul. Pengaruh Anglo-Amerika akan memastikan regim zionis Israel selamat. Dan kekuasaan “imperium” ini juga akan memastikan aliran minyak tidak terputus, tetap “mengalir”. Tidakkah Irak diminati Bush hanya karena sumur minyak mereka. Tidakkah Obama yang lagi dihujat rakyatnya karena melancarkan serangan udara ke Libya dan Sarkozy yang panic karena Saef al-Islam bin Khaddafi membuka “borok” politiknya, bahu membahu membombardir Tomahawk ke Tripoli Libya hanya karena ingin memastikan minyak tetap mengalir normal ?
Sumber : Ilham Fadli
Terima Kasih
0 Komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Komentar Anda !!!!!