KHALIK DAN MAKHLUK
Laa ilaaha illallah
Allah
Allah
Allah
Allah Maha Perkasa
Semesta raya jadi saksi keberadaan-Nya
Dan mereka bertasbih puji perkasa-Nya
Laa ilaaha illallah
Allah
Allah
Allah
Allah Maha Kuasa
Segenap malaikat jadi saksi keberadaan-Nya
Dan mereka bertasbih puji kuasa-Nya
Laa ilaaha illallah
Allah
Allah
Allah
Allah Maha Pengasih dan Penyayang
Seluruh bidadari jadi saksi keberadaan-Nya
Dan mereka bertasbih puji kasih sayang-Nya
Laa ilaaha illallah
Allah
Allah
Allah
Allah Maha Kaya
Sebagian manusia jadi saksi keberadaan-Nya
Dan mereka berlomba tumpuk harta dan serakah
MAN Panyabungan, 3 Pebruari 1998
YANG TERLUKA
Tebalnya kabut di tepi gunung itu
Di balik pohon cemara kau masih gantungkan harapanku
Terlalu tinggi
Tatap matamu isyaratkan cinta sia-sia
Teduh aku dalam mimpi-mimpi kosong yang kuciptakan sendiri
Kesombongan jiwa
Petaka hati
Dan mati
Kita adalah angan yang kembara
Melayang di atas pelangi di bawah matahari
Berjuang sia-sia tegakkan rapuh janji indah
Tapi lacur
Apa hendak dikata
Harapan hanya sekedar harapan yang selalu diharapkan
Senandung bidadari nyatanya tak mampu kita nyatakan lewat ciuman
Meski kau yang cantik tetaplah idaman gejolak
Tiada jalan
Kau terluka demikian juga aku
Retaknya bumi sorga sudah ada yang menghendaki
Kiranya inilah bara api yang harus dihadapi
Tak usah putus asa menjadi mawar di hati
Masih banyak cara memburu impian
Jiwa kosong
Hati gersang
Segala luka semoga terobati
Bunga cinta pasti mekar di bejana lain
Seperti kicau camar di pantai ini
Seperti indah matamu
Seperti alunan harpa yang pernah kita petik bersama
Seperti canda kupu-kupu di sisa tamanku
Semoga……
Antara Lumut – Pasir Bidang Tapanuli Tengah
30 November 1998
GELOMBANG DALAM DIAM
Mata api jilati hati beku
Ada rindu dalam sunyi
Dikala teguh karang tak mampu lagi bertahan
Ada gelombang dalam diam
Malam hitam dan kabut tebal
Aku menghitung berapa banyak keberanian yang tersisa
Untuk buktikan cinta jika memang ada
Kata hati penuh ragu
Sebarkan beragam getar kosong
Bakar diri dibungkam malam panjang
Tenggelamkan tubuh di danau sepi
Karena begitu besar arti namamu
Sejak aku terkapar
Aku tau kau lihat luka di dada ini
Sebelum aku berhasil menjerat sayapmu duhai pesona
Kini……
Ada rindu dalam sunyi
Ada gelombang dalam diam
Malam hitam masih merajai
Aku bertanya
Abadikah permata pemberianmu?
Karena kau juga adalah perempuan
Lalu akan cukupkah sambutku?
Dengan bercanda dibawah mentari
Bercumbu di ujung ilalang
Berjanji di atas halilintar
Setengah mimpi kulihat kau menari
Aku tak tau harus bagaimana
Masih ada keraguan ikuti symponimu
Panyabungan, 16 Agustus 2001
1176 JAM
Tiada kata yang bisa diurai
Tiada benda yang mampu mewakili
Dalam nyata kita jumpa
Bicara tentang masa lalu dan rencana esok hari
Semerbak udara dini hari
Coba tebar bayangmu di penjuru sukma
Setelah kau berlalu bersama belai senja
Dan aku masih disini
Sendiri
1176 jam setara semusim bunga
Kita disatukan penindasan waktu
Dan amuk ombakmu menari di genggamanku
Bermain di lingkar cengengnya cinta
Hari ini kau berlalu
Disana
Kau renungi kembali detik-detik yang berjalan
Disini
Aku berusaha menghantam bodohku dalam pertapaan
Masih seperti kemarin ketika aku memburu diri sendiri
Tanpa gelak tawamu
Tanpa suara cembrumu
Sendiri
Rindu
Walau sejak 1176 jam yang lalu
Amuk ombakmu menari di genggamanku
Medan, 13 Oktober 2001
JENUH
Matamu simpan setangkai anak panah
Hujam haru
Dambaan
Bongkar tiap jengkal batas naluri tanpa nurani
Maka
Beri aku sebuah akhir yang baik
Sebab
Karena jenuh aku menulis
Miskinnya hidup tanpa sanjung
Cemar sudah mimpi-mimpi tulus malam hari
Kala tiada suara jangkrik hiasi halaman rumah
Ketika luapan benciku atas cinta berpamrih
Sebab
Karena jenuh aku bicara
Lidahmu simpan ujung belati
Berputar-putar nyanyian palsu
Iris daging dan jantungku
Maka izinkan aku keluar dari lingkarmu
Sebab
Karena jenuh aku muak
Pelukan Tuhan aku butuh
Lenyapkan rasa bersalah hidup sementara
Sebab ku tak mau mati sia-sia
Lalu menjadi pahlawan yang kau agungi
Sisihkan figure yang kucinta namun kulupa
Medan, 05 November 2001
DIA
Pagi yang kaku menyapa alam
Aku tersentak pulang dari pengembaraan mimpi
Menutut beban hari-hari silam
Yang belum selesai
Yang belum terlaksana
Pagi yang kutakuti sinari pembaringan
Melangkah lunglai enggan bernyanyi
Ada sesuatu yang hilang dikehampaanku
Yang pernah dicinta
Yang pernah dilupa
Dia yang indah gagal kugapai
Hanya karena purnama malam tadi yang musuhi aku
Ketika amarah butakan butuhku akan dia
Sampai tak kukenali
Siapa aku
Siapa dia
Aku dijerat pagi yang durjana
Kakiku kubelenggu sendiri
Untuk menahan perih belati rindu yang menghujam jantung
Karena senyumnya masih menari seperti kemarin
Padahal aku lupa raut wajahnya
Bahagia yang ia nikmati saat ini dan selamanya
Semoga adalah kebanggaanku sebagai lelaki
Dan pengembaraan falsafah ini akan terus kubongkar perpustakaan langit
Tanpa dia disampingku
Panyabungan, 10 Januari 2002
AIR MATA MUTIARA BIRU
Di pinggir telaga rawa kehidupan
Sepotong rembulan bersinar terang
Berlahan tubuhku terangkat dari hisapan lumpur hidup
Yang entah sudah berapa lama tenggelam dan mati
Semesta raya karya sempurna Sang Perkasa
Bergerak
Berputar
Peluk aku dan ambisiku
Terima tulus pengaduan siksa bathin
Merdekakan diri dari lingkar maya
Bunga-bunga bersemi
Mengalir deras air mata mutiara biru putri duyung
Yang kemudian menjelma menjadi bidadari
Yakinkan diriku bagun sangkarnya di Firdaus
Yang telah lama tertimbun ilalang
Cahaya emas rembulan
Dan penuturan sepasang merpati tentang cinta ikhlas pengorbanan
Atas apa yang dikehendaki dan yang tak direstui
Nyalakan api di jiwa yang lahir kembali
Samsara
Kudambakan suara merdumu wahai terkasih
Kubersihkan tubuh dari lumpur keakuan
Lalu pelajari setiap lirik suara nurani
Kujadikan titik awal gelora yang terarah di musim kembara
Agar kelak tiada penyesalan masuki pintu langit
Dan mutiara biru yang kusimpan
Akan kupersembahkan untukmu Ainun Mardhia yang menangisiku
Medan, 23 Januari 2002
RIBUAN KALI
Ribuan kali kuukir namamu perempuan
Ribuan kali rindu ini bergelora
Tanpa terasa ku terkapar lelah sendiri
Ribuan kali bibirmu sentuh jantungku
Ribuan kali darah ini bergerak cepat
Kau bidadari yang bakar rimba hati
Ribuan kali ku jauhi kau perempuan
Ribuan kali janji terukir di cawan-cawan anggur
Ribuan kali keningmu ku kecup di atas padang pengharapan
Aku tak tau
Apa yang sedang kunikmati
Apa yang sedang kuderita
Ribuan kali kuhaturkan kebenaran hati
Ribuan kali pula kau kudustai
Lantai 3 FIS-UNIMED, 26 April 2002
IBU
Kutumpahkan seluruh keluh di pangkuanmu
Tak kuasa kuhidup tanpa belaimu
Walau seribu bidadari hampiri sunyiku
Atau taburan intan permata gantikan dirimu
Aku tetap inginkan kau dan deritamu
Aku hanyalah seonggok daging rapuh tanpa do’amu
Jangankan terbang tinggi, melangkahpun ku tak kuasa
Bila angin prana tak sudi kau hembuskan
Di setiap aliran darahku
Di segenap kasih sayangmu
Ibu…
Sejak dalam rahim aku menyiksamu hingga kini
Kau adalah pembohong sejati
Sebab tiada secuil kejenuhanpun kusaksikan dimatamu pelihara aku
Pertiwiku…
Taman sorga kau hamparkan di alam semesta
Sebagai alas kakiku berpijak di setiap musim kembara
Bahkan tubuhmu penuh luka oleh sayatan geloraku
Ibu…
Kau jadikan aku raja berdaulat utuh
Kau minta alam raya kepada Tuhan
Lalu kau serahkan untukku
Walau senantiasa aku nyaman mendurhakaimu
Pertiwiku…
Kau tak secantik dulu
Namun selamanya kau kupuja
Sampai satu tetes sisa nafasku
Namamu tetap kusanjung setelah nama penciptamu
Kupersembahkan seluruh catatan hidupku untukmu Pertiwi
Tetaplah akui aku sebagai anakmu
Yang tak akan pernah mau lepas dari pelukmu sampai kau minta nyawaku
Karena tiada lagi keberuntungan selain aku memilikimu seutuhnya
Panyabungan, 29 Juni 2002
KARENA PENGKHIANATAN
Aku masih tak dapat lupakan suaramu
Walau kuserahkan jiwa raga seutuhnya
Bahkan berdebat dengan tawamu
Mencoba berjabat tangan dengan janji setia
Setelah aku belajar dari derita kehilangan harta
Alammu penuh damai dan huru-hara
Kuhiasi dengan bunga di setiap relung mimpi kokoh
Seperti bahasa mutlak merpati putih kau bicara
Mengalir udara yang kau hempaskan dari cakrawala
Kemudian menjadi pelangi di atas samudera biru
Aku yang mengabdikan diri bagi langkah kembara
Memberi kesaksian pada butir embun, badai dan hujan
Bahwa aku tak ingin berpaling dari wajahmu
Walau aku tau tak pantas menjerat sayapmu
Sisa perjalanan panjang yang membawaku padamu
Taburkan keingintahuan apa dan mengapa
Sedang aku belum merasakan suka dukamu
Sebab tak pernah kuucapkan aku peduli
Apalagi bermimpi menjadi pahlawan aku tak berani
Aku masih berjuang memaknai suaramu
Mencoba sembunyikan pekat gulita dalam cahaya
Yang penuh nilai sebagai bekal dalam pergolakan
Merdekakan kesempatan bagi harapan
Agar pelajaran ini berguna bagi perjalanan abadi
Kulepaskan aneka penjabaran menacari arah
Saat kusadari mengharap keindahan aku membutuhkanmu
Bukan takut terbakar di medan laga
Karena aku hanyalah si pemanah gemintang
Yang pernah menjadi kelinci di alam raya
Namun
Karena pengkhianatan aku menyalah artikan geloramu
Berdiri akhirnya benteng waspada sebagai bendungan
Demi harga mati sebuah entah ikatan apa
Sebab jiwa kita diselimuti kebiasaan ragu
Kau tak perlu akui suara hati
Kutau kau masih harapkan mentari
Demi keindahan bola matamu
Kumohon maafkan pengkhiatanku
Karena niat tulus
Harus berakhir dengan keinginan memilikimu
Panyabungan, 30 Juni 2002
KEPADA ANAK-ANAKKU
Anakku sayang ……….
Hari ini aku akan bicara dari hati ke hati
Untukmu
Agar matamu terbuka melihat kenyataan
Sebab kau sudah mulai menjadi perjaka dan perawan
Saatnyalah kuberikan apa yang kau miliki
Anakku sayang ……….
Beri aku sedikit kesempatan dan redamlah cengengmu
Hari ini jadilah anak baik
Dengarkan aku
Karena ku ingin kalian lebih baik dari berjuta tunas bangsa
Anakku sayang ……….
Tiada lagi luka perih di dada ini
Saat melihatmu hias hari dengan tawa, canda dan nakal
Padahal telah lama aku berniat berontak
Namun nyaliku habis dikikis angin petaka
Anakku sayang ……….
Sadarkah polosmu yang berhamburan ?
Sesungguhnya kau tak pernah dapat apa-apa dari setiap perubahan
Hanya sakit hati tak kau sadari bersemayam dalam ceriamu
Sebab kau belum bisa menebak sanubarimu
Anakku sayang ……….
Renungilah semua ketidakwajaran yang dianggap wajar ini
Negerimu berlahan dilalap api serakah dan munafik
Tak akan ada lagi yang tersisa
Selain kegersangan gurun tandus
Anakku sayang ……….
Dari dulu semua ini telah terjadi
Bahkan sebelum kau lahir pun bangsa ini sudah menderita
Demikian juga bapak ibumu
Kakek nenekmu
Bahkan buyut dan moyangmu ratusan tahun yang lalu
Anakku sayang ……….
Inilah saatnya kau berbuat
Tiada guna kau berdiam durja
Kaulah pendekar dan srikandiku
Tunaikanlah dendam yang kupendam ini
Penggal kepala setan di hatimu
Sucikan jiwamu
Kemudian berontaklah, kebenaran telah mati
Sebab pemberontakan adalah perjuangan
Bangunlah kembali negeri ini dengan berjuta kemegahan
Jadilah pejuang kaum tertindas
Dan ini perintahku yang harus kau penuhi
Anakku………..
dibacakan saat perpisahan dengan siswa SMP Negeri 1 Kisaran,
18 Oktober 2002
UNTUKMU GADIS
Apa kabarmu wahai gadis malang
Lama kau kutinggal tanpa pesan bahkan harapan
Setiap purnama kau lewati bersama hampa sepi
Tak peduli intan permata menghampiri tanpa hadirku
Lorong jantungmu adalah kemurnian
Jinakkan langkahku memburu angin sorga
Untuk sesaat berbaring di pahamu walau dalam mimpi
Esok adalah esok
Malam ini aku bersama bayangmu
Tumpahkan segala kesal
Dan sudilah kiranya kau menjadi penghibur lara
Sampai lelah di ujung malam
Wahai gadis yang masih menghitung detik
Taukah kau
Aku adalah korban kebiadaban
Bahkan Indeks Prestasi Kumulatif yang tergantung di awan tak membantu
Kesempatan buatku direbut penyuap dan penjilat
Akankah kau masih seperti dulu wahai gadis sederhana?
Ikhlas terima aku apa adanya
Walau kau tak akan dapat apa-apa
Sebab tak ada harapan yang mampu kulukiskan
Sebab kelak akan sengsaralah kau bersamaku
Ah…..
Semoga ini semua hanya mimpi
Panyabungan, 10 Desember 2002
INSEMINASI
Pagi buta dikala gerimis bernyanyi
Aroma sebongkah cinta lupakan hakikat diri
Entah sisa persoalan keberapa untu sandarkan keyakinan
Agar hidup berjalan utuh selamanya
Alam fana dan sisi hitam manusia
Alunan sepi musik persimpangan jalan
Sejenak kucoba dengar kata hati
Katanya tak satupun yang perlu dilalui
Jadi apakah harus diam?
Lautan air mata yang lama mengalir
Dalam gelap menggapai-gapai secuil ketenangan
Jiwa dijajah
Dilingkupi hawa indah primordial
Gelombang mellanium bersenggama dengan benih perjuangan
Lahirkan dua pengaruh yang berbenturan
Setelah berjabat tangan mereka saling memaki
Merekalah politikus durjana
Bukanlah ini jalan raya sejati
Bukan pula rambu langit
Hanya karena kebodohan sapi
Mereka dipaksa lahir
Kemudian berdagang sapi
Demi tercapainya dengki malaikat hita
Maka
Selamat datang jilatan neraka
Panyabungan, 15 Desember 2001
KEMBARA CINTA
Aku ternyata hanya bisa seperti patung didepanmu
Mata yang jujur intimidasi kesungguhanku
Yang mencoba tegar lukiskan peduli di atas kanvas
Walau ku masih ragu karena tak tau siapa kau
Aku yang asing di alammu yang gelora
Pasrah sudah aku dalam intaian matamu
Dan mencoba menggapai sinar smaradhana di pintu hati
Setelah jauhkan diri sejenak dari keakuan
Akhirnya………..
Kau dan aku berhasil maknai sebuah makna
Menyatu raga kita menjadi khasanah sorgawi
Menghiasi hidup dengan bunga-bunga di bawah zaitun
Maka…..
Tiada secuil niatpun sesatkan kau
Wahai pembawa sesaji
Tak harapkan apa-apa lagi
Kau tersenyum saja hati ini bahagia
Segala yang kumiliki kaulah pewarisnya
Sebagai bukti aku peduli
Aku yang tak lebih dari seorang nelayan
Suatu hari ku harus berburu demi keyakinan hidup
Aku cinta kau
Tapi tak harus selamanya kita menyatu
Tak pula perlu bayangkan apa yang akan terjadi
Sekarang ikuti aku nikmati waktu yang tersisa
Selesaikan satu babak kembara cinta ini
Kisaran, 20 Agustus 2002
DIALOG DI BAWAH PURNAMA
Malam ini kau ada disini di sampingku
Tiada terhitung biji bunga di hati
Kunikmati semua arti kebersamaan yang telah lama terampas
Kita lewati malam bertabur embun di bekas perkampungan Nirwana
Kita yang kembara lalui jalan berbeda
Mencaeri hakikat, mencari makna
Dan mencari anugerah alam yang menderita
Hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan apa dan mengapa
Yang sampai saat ini masih mengambang
Malam ini kita bicara berbagai persoalan
Dan terpaan purnama hiasi sorot matamu yang berapi
Sepertinya alam turut merasakan duka pengorbanan rakyat terkasih
Yang telah lama sakit akibat penindasan
Tiada yang peduli
Demikian juga matahari
Lukisan angkara murka terpampang di angkasa
Tiada ketenangan atas kemunafikan ini
Aku telah berdosa karena berdiam diri
Membiarkan jiwa dijajah malaikat hitam
Seakan baru punya mata melihat kenyataan
Malam ini kau lahirkan benih keberanian di dadaku
Demi perjuangan melawan nafsu
Sebab aku ingin hidup ini lebih berharga
Mulai saat ini aku bersumpah akan menantang badai
Aku terlanjur menerima kehidupan
Aku juga harus siap mati yang hanya sekali
Demi sebongkah permata persembahan anak Adam
Aku harus berbuat demi air mata rakyat ini
Tuhan lindungi kami
Panyabungan, 12 Desember 2002
PUTERI
Sayang
Kau dilahirkan pembawa bahagia
Pesonamu tiada tara lenyapkan derita luka
Sayang
Kau dilahirkan untuk menjadi pengabdi
Jemarimu halus buktikan cinta
Sayang
Kau dilahirkan sebagai bunga mekar
Melatipu cemburu melihat murninya indahmu
Sayang
Kau dilahirkan sebagai penghias rumah
Peliharalah wangi tubuhmu dengan dupa iman
Sayang
Kau dilahirkan untuk menyempurnakan warna
Jagalah wibawa leluhurmu yang agung
Sayang
Kau dilahirkan sebagai seorang ibu dari anak-anakmu
Sorga ada di bawah kakimu dan itu menjadi beban di pundakmu
Sayang
Kau dilahirkan untuk menjadi kekasihku saat ini
Berontak dan memukullah jika nafsuku tak terkendali lagi
Panyabungan, 13 Desember 2002
SEBAB AKU CINTA KAU
Jangan kau tanya apa dan mengapa
Tiada guna nestapa dan kesedihan
Walau tak kusangsikan tulus perhatianmu
Tapi tolong simpan dulu keluh kesah itu
Jangan khayalkan aku akan selalu di sampingmu
Aku juga tak pernah harapkan kau menjadi kelinci di peraduan
Tak perlu aku kau dekap karena derita ini
Aku bukan hanya untukmu dan bukan hanya milikmu
Jangan pernah nantikan aku kembali
Masih banyak mimpi yang belum terlaksana
Masihkah kita harus serakah hanya karena atas nama cinta
Tiada sadarkah kau aku diciptakan untuk apa
Jangan pernah doakan kita selalu terikat
Aku adalah anak zaman huru-hara
Yang akan terus berjalan membelah alam raya
Menyongsong badai demi sebuah nama yang aku cari
Jangan pernah kira aku tak lagi peduli
Indahmulah yang memaksaku mengembara
Dan untuk kesekian kalinya yang terucap hanyalah kebenaran
Sebab aku cinta kau segalanya harus dapat aku banggakan
Jangan pernah putus asa aku tidak akan berpaling dari wajahmu
Karena tiada keberanian di hati ingkari hangatmu
Saat ini masih banyak tuntutan yang harus dipenuhi
Dan aku tak mau menyesal di hari ajal
Tambangan, 07 Desember 2002
SENJA DI SELAT MALAKA
Di bawah mentari merah kita duduk dan bicara
Tatapan mata yang mencari letak titik kejujuran
Tiada jalan……….
Semua buntu……..
Terurai pelangi sebagai pertanda suka dan duka
Dalam dekap badai kita pernah menyatu
Renungi tarian walet hitam di bawah mendung
Tiada tawa………
Semua petaka…….
Tertancap perangkap di hati yang iba
Perahu nelayan akan berangkat sebentar lagi
Bergemalah gemuruh di jiwaku dan jiwamu
Menghilang berlahan di batas pesisir
Luapkan ombak dari desah derita
Seakan tiada jawab atas tanya yang sombong
Walau esok atau nanti aku harus pergi
Walau sepi aku tak berniat kembali
Walau rindu harus menumpasku
Bukannya aku jenuh pelihara cintamu
Bahkan gelora ini masih seperti gelombang di Selat Malaka
Kutau kau sesali pertemuan ini
Tapi tunjukkanlah keangkuhanmu
Seperti yang kuajarkan kemarin
Agar kau menjadi bara di kehidupan kini dan esok
Senja ini semoga menjadi awal kebebasan kita
Seperti yang kudamba selamanya kau kubanggai
Menghias kamar hati yang sengsara
Duhai terkasih,
Ikhlaskanlah petualanganku seribu tahun lagi
Tanjung Balai, 24 September 2002
PERJALANAN GADIS NIRWANA MENGGAPAI IMPIAN
Dulunya dia adalah gadis manis dari balik pepohonan alam indah
Di sebuah perkampungan nirwana yang ramai di bicarakan orang
Kembara di kota demi sebuah mimpi
Tinggalkan cinta ikhlas seorang pemuda dekil dan miskin
Bahkan lupakan cerita indah masa kecil
Dikala burung-burung dan dedaunan bercumbu di bawah gerimis
Namanya Kathrine lebih di kenal dari Karimah
Di belantara kota ia berjuang dalam pergulatan hidup
Rangkai malam demi malam di taman-taman harapan
Di belantara sesat ia menari
Bagai telaga ia lepaskan dahaga panjang
Menjadi pujaan laki-laki sepi di keramaian
Di galau hidup yang kaku dan bosan
Mencari sorga di serakah duniawi
Memburu dan diburu tiada bedanya
Tak peduli jilatan petaka di kemudian hari
Setiap malam ia janjikan gerbang birahi bagi mereka
Impian ini suci
Kendaraan ini ia sadari salah arah
Tapi inilah kehidupan
Dan ia masih sembunyi di balik cermin-cermin kampong nirwananya
Kathrine gadis yang dimangsa atau memangsa
Anggap sepi semua gunjingan tak bertulang
Kegigihan disanjung demi kehidupan
Masa kini dan masa depan yang bahagia
Dan ia masih terus menari di ujung-ujung malam
Bagai gemericik air di pancuran waktu mengalir
Tiada yang abadi demikian juga Kathrine ataukah Karimah
Tubuhnya mulai remuk di tindih beribu lelaki
Bunga malam impian berlahan layu dan tak lagi wangi
Penyakit menyerang dan ia hanya tertunduk
Dia seorang gadis layu dari belantara serakah kota
Sunyi sepi di kamar yang terkunci
Menatap kosong impiannya telah buyar
Perjalanan panjang malam dan hitam hari sia-sia
Tak tau kemana sesal di buang kemana untung dicari
Kathrine lebih di kenal dari Karimah
Lewati hari dalam duka
Tubuh yang dulu indah kini menjadi neraka bagi diri sendiri
Dari kemaluannya keluar cairan busuk yang teramat sangat
Entah penyakit apa telah melumpuhkan banyak impian indah
Hasil jerih payah habis menebus derita
Bagai mayat hidup ia hanya bias bernafas
Suatu hari ia paksakan langkah pulang ke perkampungan nirwana
Untuk bersimpuh di kuburan bunda
Dan ceritakan nikmat getir kehidupan di Kerajaan Iblis
Perkampungan itupun kini telah berubah warna
Tiada lagi kemurnian tanpa benda
Tiada bedanya dengan tanah perantauan Karimah
Ia kecewa, ia tak tau kemana dan dimana
Di sisi telaga ia melihat wajahnya
Diraba setiap lekuk tubuhnya yang gersang
Tetesan air mata sesali dosa demi dosa
Batu di pinggir sungai tempat ia mencuci muka itu adalah satu-satunya saksi kenangan indah
Kala jemarinya di genggam tulus seorang pemuda dekil dan miskin
Tapi dimanakah sekarang lelaki itu ?
Air matanya masih mengalir
Gontai ia lintasi padang ilalang
Putus asa
Patah hati
Kesepian
Tersiksa
Perih
Penyakit
Ada suara sayup-sayup dari tengah rimba jiwanya
“Hapuslah air matamu wahai hamba yang berputus asa”
“Serahkanlah akhir perjalananmu pada-Nya Yang Kuasa”
Ia masih menangis dan menunduk penuh malu
“Bangkitlah wahai hamba yang rapuh”
“Di sisa hidup sucikanlah nama-Nya dan jangan kau ragu”
“Menderitalah karena itu warna dunia”
“Pulanglah wahai hamba lemah yang masih berjalan”
“Kembalilah pada-Nya Ia telah lama menunggu disana”
“Kau akan diterima jika datang dengan kesucian”
“Bertaubatlah sebelum nafas di kerongkongan”
“Tidurlah pulas dipangkuan-Nya”
Karimah berlahan pejamkan mata di tengah ilalang
Di regangnya nafas penuh derita dan ia memohon
“Terimalah aku yang nista apa adanya di abadi Kerajaan-Mu”
“Aku letih menjadi pengabdi Setan yang berjanji muluk”
“Wahai Penguasa Jagad, terimalah aku dan nistaku”
“Terimalah taubatku”
Karimah mati di tengah ilalang sunyi bersama nyanyian burung-burung
Dikafani jerami
Dinisani sepenggal tragedy puteri Hawa
Entah dimana ia kini
Entah apa yang ia rasakan kini
Ia mati dengan semburan air mata ketakutan dan penyesalan
Sedangkan beribu binatang lalu lalang di kemaluan yang sisakan Jahannam
Dan gagak-gagak hitam melahap habis tubuhnya
Dia telah tiada dan kini entah dimana
Membawa luka perih hitam hidup
Panyabungan, 22 Januari 2003
- ditulis di bekas perkampungan Nirwana -
AMORIA LELAKI KEMBARA
Ada seorang lelaki asing dan kembara
Pelihara suci cinta di dinding nurani
Coba tebus hitam putih cerita silam
Dengan mimpi hidup bahagia di suatu hari
Ada seorang perawan dalam asuhan pelangi
Sinari malam bagai rembulan bermanja di pangkuan cinta
Menjadi bidadari pujaan hati
Di kegersangan lelaki asing dan kembara
Nikmatnya candu asmaradhana
Nikmatnya asmara di cawan-cawan anggur
Mabuk dalam tarian asa dan simpati
Jurang adalah jembatan
Samudera adalah bahtera
Demi cinta
Api tak lebih dari butir-butir bening embun pagi
Wangi tubuh indah seorang perawan
Berkhayal susu kasih sayang buat keturunannya nanti
Dia adalah gerbang penantian
Kaku sepasang tangan rangkul sebuah janji
Bahwa tiada wajah seindah pujaan di setiap pandang mata
Dia adalah martir perjuangan
Rindu dan impian yang membumbung tinggi
Derita penindasan penguasa hilang sesaat
Dalam tahanan ia bahagia
Sebab ada satu nama yang terlalu indah untuknya
Nama seorang bidadari yang memberi warna, was-was dan tanya
Di tengah kebisingan hidup yang hitam putih
Medan, 14 Pebruari 2003
- untuk para mahasiswa pejuang ku ucapkan Selamat Hari Valentine -
ASMARADHANA
Rimbun dedaunan melambai
Tiada terbendung lagi gejolak rindu
Pada mahluk indah yang pernah tercipta
Yang kini tersimpan rapi diantara Sihite dan Sorik Maprapi
Ia disana
Ia bersimpuh anggun di balik tabir semesta yang penuh rahasia
Untuknya aku datang walau sesaat
Demi sebuah bunga persembahan kasih sayang
Dan sucinya yang kukagumi sampai nanti
Sampai aku tak lagi melihat mentari pagi
Bahasa pujian menusuk jantung
Bagai pesona pelangi ia menari di lereng gunung
Rimba raya menjadi saksi cintanya
Reguk kedamaian di setiap jengkal tubuhnya
Hari ini sebutir permata aku ciumi
Kegersanganku serahkan jiwa raga seutuhnya
Seakan tiada lagi penghalang
Setulus ikhlas aku terima ia apa adanya
Di pelukku yang gelisah
Seorang bidadari teteskan air mata
Seluruh harapan kutumpahkan di lembut bibirnya
Ringankan beban langkah kembara
Mimpikan sisa perjalanan nanti adalah miliknya
Perkampungan Cinta, 12 Januari 2003
PERJALANAN CINTA
Aku ternyata hanya bisa diam seperti patung
Mata yang jujur itu telanjangi kesungguhanku
Kucoba tegar lukiskan rasa sayang
Meski aku masih ragu karena tak tau siapa kau
Aku masih asing di alammu yang bergelora
Pasrah sudah aku dalam intaian bola mata itu
Dan coba menggapai sinar ketulusan di pintu hati
Setelah jauhkan diri sejenak dari keakuan
Kita mungkin telah sama-sama berhasil
Aku bisa menyatu dalam ragamu
Seindah rembulan telanjang kita saling menerima
Jadikan hidup berbunga sebab kesucian
Maka tiada secuil niatpun sesatkan kau
Aku tak mengharap apa-apa lagi
Kau tersenyum saja hati ini sudah bahagia
Segala yang kumiliki adalah milikmu juga
Sebagai bukti aku peduli
Sudut-sudut nuranimu telah kutelusuri
Demi Tuhan tak satu bisikan setanpun yang kudengar
Aku sayang padamu bukan dengan bahasa
Aku yakin bathin kita telah terikat
Aku yang tak lebih dari seorang nelayan
Suatu hari aku harus berburu demi kehidupan
Aku cinta kau tapi tak selamanya harus disampingku
Maka tak perlu pikirkan apa yang akan terjadi nanti
Ikutlah denganku sejenak
Nikmati sisa waktu yang hampir senja
Kisaran, 20 Agustus 2003
SORIK MARAPI
Telusuri jengkal demi jengkal tubuhmu
Kurasakan ada kemurnian sempurna di kakimu
Sejuta bunga hiasi belantara hijau
Isyaratkan bukti kedamaian sorgawi
Sekuat tenaga aku berusaha mencapai puncak
Kaku wibawamu goreskan gentar di urat nadi
Simpan misteri kehormatan yang dijunjung tinggi
Dan getarmu yang lebih dahsyat dari seluruh geloraku
Remukkan sombong yang terkumpul selama ini
Kemudian merubahku menjadi liliput di alam raya
Kau yang kukagumi masih saja diam dan dingin
Dalam angkuhmu kurasakan hangat
Ketika ramah sambutmu menyusup di relung jiwa
Tunjukkan kasih sayang sejati di balik perkasa
Di senja merah aku sampai di puncakmu dan aku lelah
Mulutmu menganga semburkan butir lahar
Bagi kemakmuran petani di sekitarmu
Yang belum pernah berhenti berharap akan esok yang lebih baik
Yang belum bosan dibohongi dan dibodohi kumpulan gagak hitam
Aku merdeka
Nafasmu putuskan semu belenggu jiwa ragaku
Nyatalah sudah cerita kegagahan yang pernah kudengar
Aku bersimpuh
Renungi Maha Karya Penciptamu
Tak terbendung air mata malu yang teramat sangat
Di hadapan-Nya nyatanya aku tak lebih dari sebutir kembara debu
Mentari berlahan tenggelam
Keperkasaan itu akan kembali menjadi rahasia
Terima kasih dan selamat tinggal wahai mahluk
Aku akan belajar banyak darimu
Sebab dahsyat gemuruhmu
Sebab indah pesonamu
Belum lekang dimakan waktu
Maka aku bersumpah lakukan yang terbaik demi hidup fana dan abadi
Puncak Sorik Marapi, 05 Pebruari 2005
Abu Iqlima
ANTARA AKU, ISTERIKU DAN ANAKKU
Tak kuasa aku pandangi wajah isteriku
Dulu ia cantik dan menggiurkan waktu perawan
Kini pesonanya mulai memudar dan mati entah kapan
Tak kuasa aku mendengar tangis anakku
Dulu ia lincah dan ceria waktu bayi
Kini bahagianya mulai terampas dan mati entah kapan
Tak kuasa aku merasakan lelah di tubuhku
Dulu aku kuat dan perkasa waktu perjaka
Kini kekuatanku mulai menghilang dan mati entah kapan
Hidup di belantara angkuh kehidupan
Lemparkan aku ke sisi neraka
Sedikit salah langkah akulah penghuni abadi Jahanam
Hanya karena mempertahankan cita-cita
Aku harus menjadi terbuang atau pembuang
Semakin lama hidup semakin bau
Jadi pekerja adalah pilihan yang kuanggap baik demi kebutuhan
Kuharap hidup sejahtera
Tapi disini aku semakin sengsara
Karena siang dan malam aku dipaksa berzina dengan bangkai
Mungkin inilah hasil perjalanan panjangku
Walau kadang ada niat untuk berontak
Tapi aku ragu hadapi resiko
Mulutku pasti di bungkam dan aku semakin terkucil
Dan
Isteriku yang kuanggap masih cantik
Anakku yang kuanggap masih lincah
Mereka akan mati kelaparan dipangkuanku
Dan
Aku yang sudah rapuh
Akan kesepian menjalani hidup di Kerajaan Iblis ini
Kepada orang-orang yang aku cintai
Aku selalu ajarkan sebuah makna ketegaran, ketabahan dan kejujuran
Aku juga ajarkan bahwa yang haq akan mengalahkan yang bhatil
Setidaknya walau dalam mimpi
Demi orang-orang yang kucintai
Masih kucoba tegar berpijak di jalan berduri
Seperti yang diceritakan Kitab Suci
Agar kelak kami bisa bercanda ria di taman bunga
Seperti yang diceritakan Kitab Suci
Derita panjang ini kujadikan samurai
Kupenggal kepala durjana di hatiku, isteriku dan anakku
Teladani Ayyub yang mengalahkan sepasukan Setan dengan kedua tangannya
Atau Ibrahim si pemburu Setan yang terkenal itu
Walau imbalan yang kuterima sebagai sapi perahan hanya cukup untuk buang air
Walau hidup tertindas di belantara keangkuhan
Sudah kepalang basah
Tiada mungkin mengulang lagi
Kutanamkan niat tetap berpijak di lereng ini
Setidaknya mereka yang sengsara masih milikku
Semoga kami bisa bertahan
Panyabungan, 01 Januari 2009
- sabarlah sayang -
LELAKI
Pantaskah seorang lelaki menyemai cinta lain di balik nurani?
Gagahkah seorang lelaki saat menerima anugerah lalu ia rahasiakan?
Dimanakah kelakilakian seorang lelaki ketika seorang bidadari mengajaknya menari?
Malam belum binasa
Hujan masih gemericik
Di batas langit ketujuh
Para malaikat mencuci jubahnya
Tapi dimanakah Malaikat Hati?
Telah lama ia menghilang
Menghindar kejaran bidadari
Kelakilakianku bukan tak mengandung bara
Ikatan suci dan malam yang bertasbih
Jinakkan serakah
Malu dan haru andai malam mengutuk janji matahari
O , Adam yang rupawan
O, Hawa yang jelita
Anakmu yang banyak berbuat dosa
Anakmu bertanya
Apakah cinta itu dosa?
Lalu dimanakah sepasang merpati
Yang dulu bercumbu di taman Firdaus?
Lelaki ada karena Tuhan yang bukan lelaki
Wanita ada karena Tuhan yang bukan wanita
Kasih sayang ada karena keharusan dalam tiap lelaki dan wanita
Cinta ada karena rasa saling butuh
Cinta adalah anugerah yang akan diadili kelak
O, malam yang suci
O, hujan yang masih bernyanyi
Para malaikat berwudhu’
Seribu bidadari melagukan keabadian
Sedang aku terbakar oleh api yang kunyalakan sendiri
Berlahan akan binasa menjadi abu
Melayang ke Mahsyar kelak
Dan pengadilan akan bertanya
Wahai lelaki
Kemanakah anugerah itu kau buang?
Wahai lelaki
Pembelaan apa yang akan kau gelar
Karena pengkhianatanmu atas kesucian nurani?
Wahai lelaki
Sebab apa kau membakar diri sendiri?
O, malam yang hujan
Saksikanlah sepasang hati yang dipenjara kenyataan
Hidupnya diantara langit dan bumi yang tak bertepi
O, Tuhan yang memiliki banyak nama
Ampunilah sepasang merpati yang bercumbu diatas awan
Panyabungan, 20 April 2010
PUISI AKHIR PERTEMUAN
Dan siang dalam cakrawala
Ada kamu di sisi telaga siang dan malam
Harap menanti kita atas keindahan masa depan
Menari bersama di rerimbun mahligai sorik marapi
Kusentuh jarimu dengan cinta
Jari jemari dalam ikatan bathin
Bathin antara kau dan aku
Diantara para pencari hikmah dan nikmatnya
Kita yang jelata
Kita yang bersama dalam perjuangan
Mimpi berjumpa diponegoro dan malahayati
Ajak kita melantunkan shalawat atas nabi
Lalu berkelena di angka-angka matematika
Menerawang di jejak-jejak sejarah
Mengukur dalam ingatan-ingatan geografi
Bertutur dalam dialektik bahasa
Ya………………
Semua atas nama cinta
Cinta atas bangsa dan umat
Semoga kelak hidup berjalan lebih wajar
Dan meninggalkan semua ketidakwajaran ini
Sayang
Tibalah waktunya kita berpisah
Telaga ini menjadi saksi
Bahwa esok atau lusa kita harus kembali
Setelah ashar sebelum maghrib menjemput nyawa
Atau bahkan tidak sama sekali
Selamat tinggal sahabat
Selamat jalan sayang
Menjadilah apa yang diimpikan
Pijakan kita sudah jelas
Oleh leluhur kita william iskandar
Akhirnya………
Aku hanya bisa ingatkan pesan guru kita yang pernah berucap
Dengan haru biru dan matanya yang berkaca
Anakku, jadilah apapun yang kau angan
Berusahalah apa yang kau bisa
Tapi jangan buat tanah ini menangis
Sayangi yang muda
Hormati yang tua
Ciumi rakyat jelata andai kelak kau jadi pemimpin
Mereka telah terlalu lama sengsara dan dibodohi
Hapus air mata mereka dengan cinta
Suara mereka adalah suara tuhan
Jaga hutan sorik marapi
Jangan biarkan tenang para perusak taman sorga ini
Bicaralah yang sewajarnya
Bunuhlah setan dihatimu
Timanglah ayah ibumu sebagaimana mereka menimangmu waktu kecil
Tenanglah seperti air disaat sengsara
Tenanglah seperti air disaat sengsara
Tenanglah seperti air disaat sengsara
Tetaplah jujur biarpun miskin
Tetaplah jujur biarpun miskin
Tetaplah jujur biarpun miskin
Ingatlah antara langit dan bumi ada dzat yang agung
Tak pernah lalai apalagi tertidur
Tangan-nya penuh dengan catatan amal manusia
Dan kenanglah seorang lelaki perkasa yang telah membebaskan alam ini
Dialah sang nabi
Dialah murid kesayangan dari dzat yang maha mengetahui
Aku hanya bisa ingatkan pesan guru kita yang pernah mengucapkan kalimat itu
Dengan haru biru dan matanya yang berkaca
Entah karena ia marah atas busuknya bangkai kehidupan
Sebab ia kerap menyimpan marah kepada marah yang tak terlampiaskan
Atau mungkin ia takut atas dahsyatnya azab allah
Sebab ia kerap menyimpan takut kepada takut yang tak terlampiaskan
Digerbang itu nanti kita akan berpisah
Semoga dada kita sudah dipenuhi oleh hikmah dan cinta
Oleh guru-guru kita yang demi allah tak pernah menyimpan benci
Mari pulang sahabat untuk meneruskan perjalanan kita besok di alam fana ini
Dan kelak kepada anak cucu kita
Akan kita sampaikan pesan suci para leluhur
Semoga kita dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mendapat petunjuk
Semoga
Terima kasih atas semua kepedulian ini sayang
Panyabungan, 20 April 2010
Abu Iqlima
SUARA RESAH CALON MATI
Ada keranda diusung sepasukan Iblis
Keranda emas ukiran pedang malaikat
Di padang pergolakan bumi yang iba
Iba sebab kepengecutan para khalifah
Ada keranda diusung sepasukan Iblis
Keranda milik seorang pejuang medan laga
Keranda milik seorang pengkhianat perjuangan
Diangkat pahlawan
Entah kenapa
Arwahnya gentayangan antara langit dan bumi
Sorga dan neraka tak menerimanya
Hujan basahi pertiwi
Pertiwi dihujani air mata
Belum lagi hujan lendir orgasme para pelacur
Semua menumpuk menjadi sungai
Sungai merah marun yang bermuara di laut neraka
Air mataku terkuras
Entah sedih
Entah bahagia
Aku bingung
Bingung sebab resah
Bingung karena kehidupan
Resah akibat umurku tak akan lama lagi
Pasukan manakah yang akan mengusung kerandaku kelak ?
Pasukan gagak hitam?
Pasukan anjing penjilat ?
Pasukan bidadari ?
Pasukan malaikat ?
Pasukan Iblis ?
Ah, semua hampir tak terbedakan
Panyabungan, 15 Mei 2010
Terima Kasih
2 Komentar:
puisi yang indah sekali sob
by Bin Hakim
puisinya caakep, ayuk sini belanja balon
by Bin Hakim
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* : 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Komentar Anda !!!!!