The Grand Old Man
Di panggung rapat Sarekat Islam itu, Muso –kelak menjadi tokoh Partai  Komunis Indonesia– berdiri,  kokoh. Dia melihat para anggota rapat, tersenyum.
“Saudara, saudara, seperti apa orang yang berjanggut itu,” tanyanya.
Para peserta seperti kaget. Tapi, mereka menjawab juga. “Kambing!”
“Lalu, seperti apa orang yang memasang kumis,” tanya Muso lagi.
“Kucing!”
“Terimakasih.” Muso tergelak, lalu turun dari podium.
Kemudian, seorang lelaki kecil, berjanggut panjang, berkumis, naik podium. Dia tersenyum  sebentar pada peserta rapat. Mengelus janggutnya, berdehem, dan  bertanya, “Tahukah Saudara, seperti apa orang yang tidak berkumis dan  berjanggut?”
Koor jawaban pun bergema. “Anjing!”
Lelaki berjanggut itu tersenyum. Kemudian meneruskan pidatonya,  menjelaskan agenda Sarekat Islam dalam menghadapi politik kolonialisasi Belanda.
Lelaki berjanggut dan berkumis panjang itu adalah Haji Agus Salim,  pentolan Sarekat Islam. Sejak awal, dia memang agak berbeda sikap dengan  Muso. Tapi, Agus Salim selalu menanggapi semua perdebatan dengan Muso,  bahkan sampai menyentuh hal yang amat pribadi. Bagi Agus Salim, setiap  perdebatan harus ia hadapi, dan mesti ia menangi.
“Jarang ada yang mau menghadapi Agus Salim dalam berdebat. Ia amat ahli  berkelit, bernegosisi, dan lidahnya amat tajam kala mengecam,” jelas  Mohamad Roem, rekan Agus Salim semasa aktif di Jong Islamieten Bond.
Menolak Bea Siswa
Agus Salim lahir di kota Gedang, Bukittinggi, Sumatera Barat, 8 Oktober  1884. Ia anak keempat dari Haji Moehammad Sali, jaksa di pengadilan  negeri setempat. Karena kedudukan ayahnya itu, Agus kecil yang bernama  asli Mashudul Haq, dapat bersekolah Belanda. Hebatnya, lelaki yang  memang sedari muda suka memelihara janggut ini, amat pintar. Waktu lulus  dari Hogere Burgerschool (HBS) di usia 19 tahun, ia meraih predikat  sebagai lulusan terbaik untuk wilayah tiga kota: Surabaya, Semarang,  dan Jakarta. Karena itu, Agus  kemudian mengajukan permintaan beasiswa pada pemerintaan Belanda. Tapi,  permintaan itu ditampik. Agus Salim patah arang.
Sementara itu, di Jawa, tepatnya di Jepara, Kartini yang mendapat  beasiswa tapi tak diizinkan orang tuanya, mendesak pemerintahan Belanda  untuk menghibahkan beasiswa itu pada Agus Salim. Pemerintah Belanda  menyanggupi. Tapi apa kata Agus Salim?
“Jika beasiswa itu diberikan kepadaku karena desakan Kartini, dan bukan  karena penghargaan atas diriku sendiri, lebih baik tidak akan pernah  kuterima,” kecamnya.
Sebagai sikap pembangkangan, Agus Salim bahkan hengkang ke Jeddah, dan belajar pada ulama di sana,  sambil bekerja di konsulat Belanda.
Karier politik Agus Salim bermula saat dia pulang ke Indonesia, dan  bergabung dengan HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis di Sarekat Islam.  Waktu kedua tokoh SI itu mundur dari Volksraad (dewan rakyat), Agus  menggantikannya. Tapi, karena Belanda tak juga mengubah kebijakanannya  pada Indonesia, Agus pun akhirnya mundur.
SI kemudian pecah, antara golongan Semaun dan Muso yang condong ke garis  kiri, dan Agus Salim-Tjokro yang tetap di jalur agama. SI Semaun-Muso  berkembang menjadi partai komunis, sedangkan Agus Salium kemudian aktif  di Jong Islamieten Bond.
Di organisasi baru ini, Agus pernah dituduh memecah belah pemuda  berdasarkan sentimen keagamaan. Tapi Agus menolak, dan mengajak  berdebat, dan dia menang.
Di lembaga ini Agus kemudian melakukan gebrakan. Dalam kongres Jong  Islamieten Bond di Yogyakarta  1925, peserta lelaki dan wanita duduk terpisah dan berbatas tabir,  sesuai syariah Islam. Tapi, dua tahun kemudian, dalam kongres di Solo,  Agus atas nama pengurus membuka tabir itu, setelah menjelaskan  penafsirannya. Semangat pembaruan Islam ini terus berkembang.
“Ajaran dan semangat Islam, memelopori emansipasi perempuan. Itu pasti,”  ucapnya, berapi. Kisah ini sering diucapulangkan Seokarno dalam tiap  pidatonya, untuk menerangkan perlunya memandang Islam dan berbagai agama  dengan dada terbuka.
Tak Hirau Harta Dunia
Setelah Indonesia merdeka, bakat debat dan ketajaman lidah Agus Salim  dimanfaatkan untuk menyokong politik luar negeri Indonesia. Agus menjadi  diplomat, yang bahkan atas lobinya, Mesir mau mengakui kemerdekaan  Indonesia pertama kali. Dalam perjanjian dengan Belanda dan negara lain  pun, Agus pasti disertakan. Tapi, sebagai pejabat negara, hidup  keseharian Agus tak ubahnya rakyat jelata.
Hidupnya berpindah dari satu rumah kontrakan ke kontrakan lain. Kadang,  rumah itu hanya satu kamar, di gang becek, dan dia huni bersama 8  anaknya, serta ribuan buku koleksinya.
Tapi, menjadi miskin tak membuat keluarga itu murung. Penampikan Agus  pada harta tak membuat anaknya kehilangan kegairahan dan keceriaan  hidup. Mohamad Roem yang acap bertandang, menjadi saksi: “Kegembiraan  berada di tengah keluarga Agus Salim, membuat kita acap lupa, sungguh  betapa melaratnya keluarga ini,” katanya.
Agus Salim memang tak dendam pada kemiskinannya. Yang ia dendami adalah  perlakuan Belanda yang menolak beasiswa dia. Karena itu, sedari lahir,  tak pernah anaknya ia sekolahkan formal, kecuali yang bungsu. Agus  mendidik sendiri anaknya dengan cinta dan pengertian. Bermain bagi Agus  adalah belajar, belajar juga adalah permainan.
Hebatnya, sistem pendidikan informal ini cukup berhasil. Anak tertuanya,  Jusuf Taufik, telah mampu membaca Mahabrata berbahasa Belanda di usia  13 tahun, dan yang lainnya, di usia belasan telah mampu menghapal syair  Belanda. Perlu diketahui, tata bahasa Belanda amat sulit, sehingga butuh  ketekunan yang luar biasa untuk bisa menguasainya.
Bagi Agus Salim, keberhasilan dirinya dia ukur dengan kemampuannya  mengantarkan jiwa merdeka dan mandiri bagi anak-anaknya, tak  menggantungkan hidup pada orang atau bangsa lain.
Jiwa yang merdeka ini, lidah yang amat tajam ini, dan otak yang luar  biasa cemerlang itu, akhirnya rebah, 4 November 1954, di usia 70 tahun,  sambil tersenyum. Dia tak pernah berhutang pada dunia.
Terima Kasih
 




























0 Komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Komentar Anda !!!!!