Sejarah SuperVolcano Toba yang MeLegenda dan Letusan  MAHADAHSYATnya
Indonesia  ternyata masih menyimpan satu cerita besar. Sebuah cerita yang hampir   menghapus peradaban di permukaan bumi, mengawali zaman es terakhir, dan menyisakan  makhluk-makhluk   yang beruntung masih hidup hingga jaman ini (bahkan bisa nyantai di rumah  nungguin visitor   ngeklik adsense ;-p )
Danau Toba, yang dikenal sebagai salah satu danau air tawar terbesar  di dunia, dengan   pulau Samosir yang elok, dalam sejarah vulcanology adalah sisa dari letusan  kaldera mahadashyat   yang paling besar hingga detik ini (skala 8 VEI - Vulkanic Explotion Index).  Letusan Toba   dapat disamakan dengan 2000 kali letusan Gunung Helena atau 20000 kali letusan  bom atom Hiroshima   (ref : wikipedia)
Efek dari letusan itu adalah lubang besar dengan luas hampir 200 ribu  hektar (panjang 100 km   dan lebar 30 km) atau dua setengah kali negara Singapura dimana lubang itu  kini terisi air   dan disebut dengan Danau Toba. Letusan itu memuntahkan material vulkanis ke  seluruh penjuru dunia   dan batuan yang sama ditemukan di beberapa negara oleh geologist. Awan debu  yang dimuntahkan   menutupi permukaan bumi dari sinar matahari sehingga menurut para ahli suhu bumi  turun hingga lebih   dari 15 derajat Celcius hingga beberapa dekade, awal dari jaman es yang  terakhir (ref:Kompas.com)
  Kejadian itu menyebabkan kematian dan kelaparan di seluruh permukaan  bumi, dan   diperkiraan manusia yang hidup tinggal 10000 hingga 40000 orang saja. Manusia yang  tersisa bermigrasi   dari Afrika, menyebar ke Arab, Eropa, Asia dan Indochina. Dan dengan  kecepatan replikasi hamster,   kini manusia menghuni seluruh daratan di dunia.Danau Toba yang besar itu (luasnya kira2 100 x 30 km) sebenarnya berdiri  di atas reruntuhan   3 kaldera besar. Di selatan terdapat Kaldera Porsea, berbentuk ellips  dengan dimensi 60 x 40   km, terbentuk oleh letusan gigantik 800 ribu tahun silam. Kaldera ini  meliputi sebagian selatan   danau Toba dari Pulau Samosir, hingga ke daratan wilayah Parapat – Porsea dan  “teluk” yang   menjadi outlet ke Sungai Asahan. Wajah kaldera Porsea ini ‘dirusak’ oleh kaldera  Sibadung yang   terbentuk kemudian. Sementara di sebelah utara, di utara Pulau Samosir terdapat  kaldera Haranggaol   yang nyaris bulat dengan diameter ‘hanya’ 14 km. Haranggaol terbentuk pada  500 ribu tahun   silam. Keberadaan kaldera-kaldera besar ini menunjukkan Danau Toba adalah  kompleks vulkanik nan   luar biasa.
Kita fokuskan ke Kaldera Sibadung. Inilah kaldera yang terbentuk dalam  erupsi gigantik 71.500   +/- 4.000 tahun silam dan dinobatkan sebagai letusan terdahsyat di muka Bumi  dalam 2 juta   tahun terakhir setelah banjir lava di Yellowstone (AS). Bentuk kaldera mirip  kacang (peanut-like)   dan secara kasar memiliki panjang 60 km dengan lebar 30 km. Bentuk unik ini  mengesankan bahwa   kaldera Sibadung dulunya kemungkinan adalah gunung api kembar yang meletus  secara bersamaan,   seperti halnya gunung Danan dan Perbuwatan dalam erupsi katastrofik Krakatau  1883. Kaldera   Sibadung mencakup seluruh bagian Pulau Samosir dan perairan selatan Danau Toba,  kecuali “teluk” di   sebelah tenggara yang menjadi outlet ke Sungai Asahan.
Letusan Toba 71 – 75 ribu tahun silam memang sungguh luar biasa. Gunung  ini melepaskan   energi 1.000 megaton TNT atau 50 ribu kali lipat ledakan bom Hiroshima dan  menyemburkan tephra 2.800   km kubik berupa ignimbrit, yakni batuan beku sangat asam yang memang  menjadi ciri khas   bagi letusan-letusan besar. 800 km kubik tephra diantaranya dihembuskan ke  atmosfer sebagai   debu vulkanis, yang kemudian terbang mengarah ke barat akibat pengaruh rotasi  Bumi sebelum   kemudian turun mengendap sebagai hujan abu. Sebagai pembanding, erupsi paroksimal  Tambora 1815   (yang dinyatakan terdahsyat dalam sejarah modern) ‘hanya’ menyemburkan 100 km  kubik debu dan   itupun sudah sanggup mengubah pola cuaca di Bumi selama bertahun-tahun  kemudian, yang salah   satunya menghasilkan hujan lebat yang salah musim di Eropa dan berujung pada  kekalahan Napoleon   pada pertempuran besar Waterloo.
Sebuah penelitian terbaru menyatakan sebuah ledakan besar vulkanik di  Indonesia   mengguncang planet Bumi pada 73.000 tahun yang lalu, bertanggungjawab terhadap  pendinginan suhu global   dan menghancurkan populasi nenek moyang manusia. Dibutuhkan heck dari sebuah  bencana untuk   menyeka pohon dari India.
Tapi 73.000 tahun yang lalu, letusan titanic Gunung Toba (the great  Toba) di Indonesia   melakukan hal itu, menyapu bersih daerah itu hampir dalam semalam seperti  menendang planet ke lemari   es yang akan dingin bertahan selama hampir 2.000 tahun. Letusan Toba  mungkin merupakan   peristiwa vulkanik yang paling penting dalam sejarah manusia, derita leluhur  penduduk manusia di   Afrika turun secara drastis, hanya yang menyisakan sekitar 30.000 orang yang  selamat.
Tetapi para ilmuwan berdebat apakah semua bencana itu sebegitu buruk  dengan beberapa   berpendapat bahwa hanya ada penyimpangan kecil dalam iklim pada saat itu.  Sebelumnya, peneliti   Jihong Cole-Dai, kimiawan lingkungan dari South Dakota State University di  Brookings   menganalisis penurunan suhu global sekitar tahun 1810 sebagai dampak dari letusan  Gunung Tambora
Kini, sebuah penelitian baru yang dipimpin oleh Martin Williams dari  University of Adelaide   di Australia membuktikan sebuah lingkungan yang dilemparkan ke dalam  kondisi chaos,   setidaknya terjadi di India. Serbuk sari dan sampel tanah yang dikumpulkan dari  Teluk Bengal dan   India tengah menunjukkan sebuah pohon tanah lembab yang tertutup material  hancur oleh letusan   vulkanik. Musim hujan terhenti dan dingin, musim kering memunculkan rumput savana.
Studi baru yang dipublikasikan baru-baru ini di jurnal Paleogeography,   Paleoclimatology, Paleoecology merupakan bukti langsung pertama dari sebuah kehancuran  ekosistem akibat   letusan. Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa abu Gunung Toba itu meluas  melalui ke India dan   Samudera Hindia, bahwa belerang dari letusan terakumulasi abadi dalam jumlah  besar membeku di lapisan   es Greenland, Kutub Utara.
Stanley Ambrose dari University of Illinois di Urbana-Champaign,  mengatakan bahwa studi   terbaru menunjukkan garis panjang bukti yang menyatakan Toba sebagai peristiwa  destruktif massal.   "Model iklim memperkirakan bahwa suhu turun 16 derajat Celcius (29 derajat  Fahrenheit) selama 50   tahun di Afrika. Hari ini suhu rata-rata di Nairobi adalah 25 derajat Celcius  (77 Fahrenheit).   Anda bisa bayangkan saja apa yang akan terjadi," kata Ambrose.
Namun, Michael Petraglia dari University of Oxford menyatakan bahwa para  peneliti telah   berpikir dengan membesar-besarkan kasus. "Dua dari tiga sampel di India berasal  dari lembah sungai   yang sama. Apa yang mereka sampling adalah situasi lokal dan mereka membuat  lompatan besar   penafsiran bahwa seluruh Asia selatan seperti ini," kata Petraglia. Selain itu  penelitian manusia   purba sendiri sudah di India pada waktu itu, dan selamat dari letusan.
"Saya tidak menyangkal super letusan Toba memiliki efek ekologis, saya  kira itu memang   benar. Tapi interpretasi mereka tentang evolusi manusia dan genetika memiliki  kelemahan.   Keterkaitan antara letusan dan genetika belum terbukti secara kuat," kata Petraglia.
Kerikil (lapili) produk letusan Toba ditemukan hingga di India, yang  berjarak 3.000 km dari   pusat letusan. Keseluruhan permukaan anak benua India ditimbuni abu letusan  dengan ketebalan   rata-rata 15 cm. Bahkan di salah satu tempat di India tengah, ketebalan abu  letusan Toba mencapai 6   meter. Debu vulkanik dan sulfur yang disemburkan ke langit dalam letusan  dahsyat selama 2 minggu   tanpa henti itu membentuk tirai penghalang cahaya Matahari yang luar biasa  tebalnya di   lapisan stratosfer, hingga intensitas cahaya Matahari yang jatuh ke permukaan  Bumi menurun   drastis tinggal 1 % dari nilai normalnya. Kurangnya cahaya Matahari juga  menyebabkan suhu global   menurun drastis hingga 3 – 3,5ยบ C dari normal dan memicu terjadinya salah satu  zaman es.   Rendahnya intensitas cahaya Matahari membuat tumbuh2an berhenti berfotosintesis  untuk beberapa lama dan   tak sedikit yang bahkan malah mati, seperti terekam di lembaran2 es  Greenland.
Bagaimana dengan manusia? Ambrose (1998) berdasar jejak DNA manusia  purba menyebut saat   itu terjadi situasi “genetic bottleneck” yang ditandai dengan berkurangnya  kelimpahan genetik   dan populasi manusia. Bahkan dikatakan jumlah individu manusia saat itu  (tentunya dari generasi   homo sapiens awal seperti homo sapiens neanderthalensis dan rekan-rekannya)  merosot drastis   hingga tinggal 10 % saja dari populasi semula.
Bencana lingkungan akibat erupsi Toba ini diduga membuat homo  neanderthalensis   berevolusi menghasilkan individu yang lebih lemah. Sehingga ketika katastrofik  berikutnya terjadi,   yakni pada 12.900 tahun silam di ujung zaman es tatkala asteroid/komet  berdiameter 5 km jatuh ke   Bumi dari ketinggian awal yang rendah (mendekati horizon) sehingga benda ini  meledak pada   ketinggian 60 km di atas Eropa – Amerika sembari melepaskan energi 10 juta megaton  TNT, neanderthal   tak sanggup lagi bertahan dan punahlah ia bersama kawanan mammoth sang gajah  raksasa zaman es.
Danau Toba sekarang ini, apakah masih aktif? Ya. Bekas letusan berskala  kecil dan kubah lava   baru pasca erupsi hebat itu masih dapat dijumpai di kerucut Pusukbukit di  sebelah barat dan   kerucut Tandukbenua di sebelah utara. Terangkatnya Pulau Samosir hingga 450  meter dari elevasi   semula (yang dapat dilihat dari lapisan2 sedimen danau di pulau ini) juga  menunjukkan bahwa   reservoir magma Toba telah terisi kembali, secara parsial. Studi seismik  menunjukkan di bawah danau   Toba terdapat sedikitnya dua reservoir magma di kedalaman 40-an km dengan  ketebalan 6-10 km.
Bertahan dari Letusan Mahadahsyat
Sekelompok peneliti internasional menyatakan, manusia India yang hidup  pada saat letusan   gunung api Toba-yang kini menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara-74.000  tahun lalu, relatif   masih bisa bertahan hidup. "Meski mengalami masa-masa yang sulit," kata  antropolog Michael   Petraglia dari Universitas Cambridge Inggris, kepada Tempo melalui surat  elektronik pada Senin pekan   lalu. 
Petraglia adalah pemimpin penelitian yang dilakukan di Lembah  Jwalapuram, Distrik Kurnool,   India, itu. Petraglia dan timnya menemukan ratusan artefak berupa alat-alat  batu serpih yang   sama tipenya dari atas dan bawah lapisan debu vulkanik Gunung Api Toba. 
"Artefak kami temukan di bawah dan di atas lapisan debu, oleh sebab itu  kami menyimpulkan   adanya keberlanjutan populasi di kawasan tersebut setelah letusan terjadi" ujar  Petraglia. 
Letusan Gunung Api Toba yang wujudnya hanya bisa direka-reka dari  kawasan Danau Toba kini,   adalah letusan mahadahsyat dan tiada bandingnya. Sejarah mencatat, itulah  letusan terbesar di   dunia selama dua juta tahun terakhir. 
Gunung itu melontarkan sekitar 3.000 kilometer kubik material perut  bumi, termasuk gas   vulkanis dan asam sulfur ke langit. Gas dan asam sulfur menyelubungi lapisan  stratosfer di atmosfer   bumi selama 6 tahunan. 
Adapun material gunung terlempar sampai ke kawasan Greenland di utara  bumi. Di India, di   mana Petraglia dan timnya meneliti, tebal lapisan debu vulkanisnya mencapai  15 sentimeter. 
Selubung material dan gas dari gunung itu membuat temperatur muka bumi  menurun antara 3 sampai   5 derajat celsius. Dunia pun mengalami musim dingin vulkanik yang sama  seperti zaman es.   "Itu adalah masa-masa yang sangat berat dan menantang," kata Will  Harcourt-Smith, palentolog   dari Museum Sejarah Alam Amerika di New York. 
Di tengah masa sulit itulah manusia India pada saat yang sama, menurut  Petraglia, bisa   bertahan hidup. Padahal, teori yang didasarkan penelitian DNA dan genetik,  menyatakan bahwa   populasi manusia di bumi nyaris tersapu bersih akibat letusan tersebut. 
Sebuah teori dari Stanley H. Ambrose dari Universitas Illinois di  Urbana-Champaign   Amerika Serikat, menyatakan bahwa populasi manusia yang hidup saat ini berasal  dari antara 1.000   sampai 10.000 jiwa manusia yang bertahan hidup dari letusan gunung Toba itu. 
Menurut Petraglia, artefak-artefak yang mereka temukan dari lapisan  bawah debu vulkanis,   memiliki kesamaan tipe dengan artefak di lapisan atasnya. "Semuanya  diidentifikasi dari masa   Paleolitik Tengah, antara tahun 150.000 sampai 38.000 Sebelum Masehi," katanya.
Tapi Ambrose meminta Petraglia dan timnya tak buru-buru menarik  kesimpulan sebelum   menemukan bukti lebih lanjut. "Satu-satunya cara untuk membuktikan adalah  menemukan kerangka manusia   di bawah lapisan debu yang sama dengan manusia Afrika," katanya. 
Petraglia setuju bahwa penemuan kerangka akan memberikan bukti yang  lebih kuat, tapi dia   tetap kukuh pada pendiriannya. "Ada ribuan artefak lagi yang tidak kami  presentasikan di jurnal   yang mendukung klaim kami," katanya. 
Artefak-artefak yang ditemukan Petraglia mengindikasikan kesamaan  morfologi dengan alat-alat   batu yang dibuat manusia modern di Afrika bagian selatan. 
Petraglia dan timnya pun menduga bahwa manusia yang hidup di India itu  sama modernnya   dengan manusia Afrika. Manusia India itu berasal dari Afrika yang bermigrasi  dan tiba di   kawasan tersebut sebelum letusan Toba menyelimuti kawasan itu dengan debu.
Tapi dugaan ini ditentang Will Harcourt-Smith, palentolog dari Museum  Sejarah Alam Amerika di   New York. Menurutnya, manusia modern Afrika yang hidup pada masa yang sama  dengan letusan   Gunung Toba, sudah hidup dengan simbolisme, perilaku pembuatan alat yang  kompleks, demikian   pula kehidupan sosialnya. "Memang perilaku mereka tak seperti manusia  sekarang, tapi mereka   sudah tergolong manusia modern," kata dia. 
Chris Clarkson, arkeolog dari Universitas Queensland, Australia, yang  terlibat dalam   tim Petraglia mengatakan, dugaan mereka didukung temuan sejumlah besar oker  di bawah lapisan   debu, bersamaan dengan alat batu. Oker adalah zat warna terbuat dari tanah,  yang digunakan oleh   manusia awal untuk seni, simbol, atau mengelem alat batu dengan pegangan  kayunya.
"Semua ini potensial sebagai penanda akan perilaku yang lebih komplek  daripada yang   sebelumnya dicantelkan kepada spesies hominid awal yang sudah punah," kata  Clarkson.
"Penggalian lebih lanjut akan membantu kita menyimpulkan apakah  alat-alat itu milik   manusia modern atau tidak." 
Adapun Petraglia mengatakan bahwa penemuan mereka pun mengklarifikasi  hipotesis persebaran   bagian selatan. Teori itu menyatakan bahwa manusia Aborigin Australia sekarang  bermigrasi dari   Afrika melalui Samudera Hindia. 
Lantaran kaum aborigin Australia tiba di benua itu pada 45.000 sampai  60.000 tahun lalu,   "Kami pikir mereka mestinya berangkat dari Afrika ke semenanjung Arab,  subkontinen India lalu ke   Asia Tenggara," ujarnya.
Petraglia menyatakan kesimpulan mereka memang dapat saja diperdebatkan  dan sah-sah saja.   "Ada saja orang yang mempertahankan teori mereka sendiri dan tak menyukai  kesimpulan kami, tapi   ada pula yang setuju," katanya.
Footnote : Missing link anthropology adalah fenomena ketika banyak  ditemukan fosil   spesies manusia selain homo sapiens namun pada suatu periode tertentu spesies  ini tidak ditemukan   lagi dan menyisakan hanya homo sapiens yang hidup hingga saat ini (setidaknya  yang   mendominasi, manusia pigmi berukuran kurang dari 1 meter homo sapiens atau bukan  belum diketahui). Ada   satu kejadian besar yang memutus sejarah, yang menurut teori Toba Catasthopic  diakibatkan oleh   letusan Toba.
Back Again - Why it always connected with 2012
Kapan Toba akan kembali meletus dahsyat? Kita tidak tahu. Namun dilihat  dari historinya   butuh waktu sedikitnya 300 ribu tahun pasca letusan besar Toba untuk kembali  menghasilkan   letusan katastrofik. Memang sempat muncul kekhawatiran Toba akan kembali  menggeliat pasca guncangan   gempa megathrust Sumatra Andaman 2004 yang mencapai 9,15 Mw itu dengan  episenter hanya 300 km   di sebelah barat danau, namun sejauh ini belum terbukti. Kekhawatiran ini  bukannya tanpa   alasan. Krakatau bangkit dari tidur panjangnya selama 200-an tahun tatkala gempa  besar   mengguncang kawasan Selat Sunda di awal 1883 dimana getarannya terasakan hingga ke  Australia. 
Dalam perhitungan kalender Maya, 74000 tahun yang lalu adalah awal dari  penanggalan siklus   dunia yang keempat atau akhir dari siklus penanggalan dunia yang ketiga.  Kapankah siklus   keempat berakhir? Tentu saja 21 Desember 2012.
Apakah Toba akan kembali beraksi? Para ahli vulkanologi sudah melakukan  riset di akhir tahun   2000 dengan menempatkan berpuluh titik seismograf di sekitar Danau Toba.  Meski sering terjadi   gempa ringan namun cadangan magma di kaldera Toba masih butuh ratusan tahun  lagi untuk   mempunyai potensi erupsi. Itu menurut analisa mereka. Namun yang diperkirakan oleh  beberapa   vulcanologist, bukan supervulcano Toba yang berpotensi aktif kembali dan sedikit  dikaitkan di tahun 2012   sebagai momen kritis. Bukan Toba, tapi saudaranya, kaldera super vulcano dengan  cadangan magma   terbesar di dunia yang tercitra oleh satelit .
Sumber : Blognya Jose
Terima Kasih




























0 Komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Komentar Anda !!!!!