Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia   membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan   sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit   berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus   betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan   mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral   yang baik.
Kalau kita amati bersama di era global saat ini hampir semua orang  maunya serba cepat. Jadinya,  cenderung mengabaikan proses, tapi ingin  segera mendapat hasil. Apalagi  di negara dengan etos kerja rendah  seperti Indonesia. Akibatnya, budaya  instan mulai masuk ke setiap  kehidupan kita. Inilah dampak di zaman modern  seperti sekarang ini  segala sesuatu dapat kita dapatkan dengan mudah,  praktis dan cepat.
Kemajuan teknologi telah memanjakan kita. Mau ngobrol  dengan rekan atau  saudara yang bermukim di belahan dunia lain, tinggal  angkat telepon  atau buka internet. Ingin belanja atau makan di restoran  tapi malas  keluar, tinggal pesan lewat telepon atau beli lewat situs.  Mau  transaksi —transfer uang, bayar listrik, kartu kredit, beli pulsa—   tidak perlu susah-susah ke bank atau ATM. Semua bisa dilakukan lewat   handphone. Bagi cewek-cewek yang ingin rambut panjang tidak perlu harus   menunggu sampai berbulan-bulan. Cukup tunggu ½ jam saja dengan teknik   hair extension, rambut bisa panjang sesuai keinginan. Kenapa hal ini  bisa terjadi?. Semua ini dikarenakan kurangnya kualitas pendidikan yang  berjalan di negeri ini. Dunia pendidikan di Indonesia tidak  memperhatikan dan tidak membentuk sebuah kurikulum khusus yang lebih  mengikat dan mengakar pada kualitas pendidikan dalam peningkatan  kopetensi peserta didiknya. Hal ini masih banyak terjadi di setiap badan  dan lembaga pendidikan di Indonesia dari tingkat dasar sampai dengan  perguruan tinggi.
Catatan lain yang sangat disesalkan sampai sekarang di dunia pendidikan  kita adalah Pendidikan Cenderung Dibisniskan. Dengan demikian akhirnya  muncul dilema seperti pelanggaran etika pendidikan. Hal ini juga banyak  terjadi di dunia pendidikan tingkat akademik dan perguruan tunggi di  Indonesia pada umumnya. Inilah salah satu cacatan penting yang bisa kita  jadikan sebuah koreksi diri pada dunia pendidikan kita.
Kemunduran dunia pendidikan dan penciptaan kopetensi untuk memasuki  dunia kerja di Indonesia mendapatkan perhatian khusus dari salah satu  pengamat pendidikan Indonesia, dia adalah Tata Sutabri S.Kom. MM.
Dari sebuah bloknya Tata Sutabri S.Kom. MM mengungkapkan bahwa munculnya  berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik  yang  dilakukan perguruan tinggi kita untuk memenangkan persaingan,   menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai ajang   bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming hadiah   merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak ada   inovasi dalam hal kualitas pendidikan.
Kecenderungan tersebut akan  menghancurkan dunia pendidikan, karena  akhirnya masyarakat bukan kuliah  untuk meningkatkan kualitas diri,  melainkan hanya mengejar gelar untuk  prestise. Kondisi pendidikan  tinggi saat ini cukup memprihatinkan. Ada  PTS yang mengabaikan proses  pendidikan. Bahkan ada PTS yang hanya  menjadi mesin pencetak uang,  bukan menghasilkan lulusan yang  berkualitas. Hal Ini yang membuat  persaingan menjadi semakin tidak  sehat.
Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya asal-asalan   dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala cara untuk   merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi yang   terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Apakah   ini gambaran pendidikan berkualitas ?.
Bahkan ada beberapa PTS di  Jakarta yang memainkan range nilai untuk  meluluskan mahasiswanya, karena  mereka takut, ketika selesai ujian  akhir (UTS/UAS) banyak mahasiswanya  yang tidak lulus alias IP/IPK  nasakom. Sehingga mereka lulus dengan  angka pas-pasan yang sebenarnya  mahasiswa tersebut tidak lulus. Dalam  hal ini semua pihak harus  melakukan introspeksi untuk bisa memberi  pelayanan pendidikan yang  berkualitas. Kopertis, harus bersikap tegas  menindak Perguruan Tinggi  Swasta (PTS) yang melanggar dan  mensosialisasikan aturan yang tak boleh  dilanggar oleh PTS. Pengelola  perguruan tinggi juga harus menghentikan  semua langkah yang melanggar  aturan. Kunci pengawasan itu ada secara  bertahap di tangan Ketua Program  Studi, Direktur, Dekan, Rektor dan  Ketua Yayasan.
Dan dari semua kemunduran dan pelanggaran yang terjadi diatas tersebut  maka jelaslah bahwa ketika para sarjana memadati berbagai arena bursa  kerja untuk menawarkan  ilmu dan ijazah mereka, iklan-iklan penerimaan  mahasiswa baru juga  nyaris memenuhi halaman-halaman surat kabar. Dua  fenomena tersebut  ironis. Promosi Perguruan Tinggi untuk menjaring  calon mahasiswa sama  “gencarnya” dengan peningkatan pengangguran  lulusan. Di sisi lain, perlu  diajukan pertanyaan, kualifikasi apakah  sebenarnya yang disyaratkan  oleh para pencari tenaga kerja lulusan  sarjana Perguruan Tinggi ini ?
Tata Sutabri S.Kom. MM kembali mengungkapkan kedalam catatannya bahwa  jawaban yang diperoleh para peneliti umumnya adalah campuran kualitas   personal dan prestasi akademik. Tetapi pencari tenaga kerja tidak   pernah mengonkretkan, misalnya, seberapa besar spesialisasi mereka   mengharapkan suatu program studi di Perguruan Tinggi.
Kualifikasi  seperti memiliki kemampuan numerik, problem-solving dan  komunikatif  sering merupakan prediksi para pengelola Perguruan Tinggi  daripada  pernyataan eksplisit para pencari tenaga kerja. Hasil survei  menunjukkan  perubahan keinginan para pencari tenaga kerja tersebut  adalah dalam hal  kualifikasi lulusan Perguruan Tinggi yang mereka  syaratkan.
Tidak setiap persyaratan kualifikasi yang dimuat di iklan lowongan   kerja sama penting nilainya bagi para pencari tenaga kerja. Dalam   prakteknya, kualifikasi yang dinyatakan sebagai “paling dicari” oleh   para pencari tenaga kerja juga tidak selalu menjadi kualifikasi yang   “paling menentukan” diterima atau tidaknya seorang lulusan sarjana dalam   suatu pekerjaan.
Yang menarik, tiga kualifikasi kategori kompetensi personal, yaitu   kejujuran, tanggung jawab, dan inisiatif, menjadi kualifikasi yang   paling penting, paling dicari, dan paling menentukan dalam proses   rekrutmen. Kompetensi interpersonal, seperti mampu bekerja sama dan   fleksibel, dipandang paling dicari dan paling menentukan. Namun,   meskipun sering dicantumkan di dalam iklan lowongan kerja, indeks   prestasi kumulatif (IPK) sebagai salah satu indikator keunggulan   akademik tidak termasuk yang paling penting, paling dicari, ataupun   paling menentukan.
Di sisi lain, reputasi institusi Pendidikan Tinggi yang antara lain   diukur dengan status akreditasi program studi sama sekali tidak termasuk   dalam daftar kualifikasi yang paling penting, paling dicari, ataupun   paling menentukan proses rekrutmen lulusan sarjana oleh para pencari   tenaga kerja.
Ada kecenderungan para pencari tenaga kerja “mengabaikan” bidang  studi  lulusan sarjana Dalam sebuah wawancara, seorang kepala HRD sebuah  bank  di Cirebon menegaskan, kesesuaian kualitas personal dengan  sifat-sifat  suatu bidang pekerjaan lebih menentukan diterima atau  tidaknya seorang  lulusan Perguruan Tinggi. Misalnya, posisi sebagai  kasir bank menuntut  kecepatan, kecekatan, dan ketepatan. Maka, lulusan  sarnaja dengan  kualitas ini punya peluang besar untuk diterima meskipun  latar belakang  bidang pendidikannya tidak sesuai. Kepala HRD itu  mengatakan, “Saya  pernah menerima Sarjana Pertanian dari Bogor sebagai  kasir di bank kami  dan menolak Sarjana Ekonomi manajemen dari Bandung  yang IPK-nya sangat  bagus.”
Kualifikasi-kualifikasi yang disyaratkan dunia kerja tersebut penting   diperhatikan oleh pengelola Perguruan Tinggi untuk mengatasi tidak   nyambung-nya antara Perguruan Tinggi dengan dunia kerja dan pengangguran   lulusan. Jika pembenahan sistem seleksi mahasiswa baru dimaksudkan   untuk menyaring mahasiswa sesuai kompetensi dasarnya, perhatian pada   kualifikasi yang dituntut pasar kerja dimaksudkan sebagai patokan proses   pengolahan kompetensi dasar tersebut. Untuk itu semua, kerja sama   Perguruan Tinggi dan dunia kerja adalah perlu.
Demikian sebuah catatan yang bisa kita jadikan sebuah referensi dan  refleksi dalam peningkatan dunia pendidikan dan penciptaan dunia kerja  yang berkompetensi untuk masyarakat luas. Hal ini pula bisa menjadi  catatan penting buat pemerintah pusat maupun daerah untuk bisa dijadikan  sebuah perwujudan yang nyata. Karena pemerintah memiliki kewajiban dan  tanggung jawabnya kepada segenap rakyat Indonesia dalam dunia pendidikan  dan penciptaan lapangan pekerjaan sesuai amanah UUD 1945 dan Pancasila.
Sumber : Syaifud Adidharta 
Terima Kasih
 


























0 Komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Komentar Anda !!!!!