Kini santer lagi suara yang menyatakan rupiah akan diredenomisasi seperti yang juga pernah dilontarkan Bank Indonesia tahun 2010. Dijadwalkan pembahasannya akan selesai tahun ini setelah melalui sosialisasi sampai 2012.
Jangan heran, bila redenominasi rupiah telah terlaksana yang dijadwalkan 2016-2018, uang Rp 100 ribu nilainya menjadi Rp 1.000 uang baru.
Salah satu negara yang sukses mengadakan redenomisasi mata uangnya adalah Turki. Ketika saya berkunjung pertama kali ke Turki pada 1996, saya mengantongi uang berjuta-juta ribu. Maklum ketika itu, satu dolar AS nilainya 107 ribu lira Turki. Dan melompat pesat tahun 2001 - satu dolar AS nilainya 1.650.000 lira Turki. Ketika saya hendak membeli oleh-oleh untuk keluarga, uang dikantongi saya yang jumlahnya jutaan lira Turki tidak mencukupi.
Tahun lalu, ketika saya kembali ke Turki setelah negara itu mengadakan redenominasi mata uangnya, ternjadi keajaiban. Satu dolar AS nilainya hanya 1.26 lira Turki. Karena merasa lebih dekat dengan Eropa di bidang ekonomi dan perdagangan, mata uang Euro lebih banyak digunakan dalam jual beli katimbang dolar AS. Satu Euro nilainya hanya dua lira Turki. Berdasarkan data yang saya peroleh, nilai ini bertahan sejak Turki mengadakan redenominasi mata uangnya. Yang patut diacungkan jempol, harga-harga stabil dan inflasi yang mencapai ratusan lira bisa mereka tekan hanya satu digit.
Indonesia pada masa-masa akhir pemerintahan Bung Karno tepatnya pada 1965 mengadakan kebijaksanaan sanering. Uang Rp 1.000 menjadi seperak. Terjadi kegemparan saat diumumkan setelah sidang kabinet dipimpin Bung Karno.
Yang apes ialah orang yang baru saja mengadakan jual beli. Tapi sayangnya, harga-harga hanya dalam waktu dekat kembali melambung, terutama harga pangan.
Sebelumnya, hanya beberapa bulan setelah penyerahan kedaulatan, tepatnya pada 19 Maret 1950, terjadi pengguntingan yang dikenal dengan 'Gunting Syafrudin'. Uang NICA yang kala itu disebut 'uang merah' digunting menjadi setengah. Sanering juga pernah dilaksanakan pada 25 Agustus 1959 - hanya beberapa bulan setelah kembali ke UUD 1945 --. Nilai uang diturunkan 90 persen. Meski demikian tidak berhasil menstabilkan nilai rupiah, bahkan tahun 1960-an merupakan masa-masa sulit di bidang ekonomi. Inflasi tidak tanggung-tanggung mencapai tiga digit. Dibarengi dengan naiknya harga-harga barang yang melangit.
Keadaan lebih suram terjadi pada masa Jepang (1942-1945). Tong-tong sampah menjadi rebutan antara anjing dan manusia yang kurus kering karena kelaparan merupakan pemandangan yang lumrah. Pada akhir pemerintahan militer Dai Nippon, uang begitu banyak beredar karena asal cetak. Untuk membeli beras saja orang harus membawa uang sebakul, yang menunjukkan bagaimana ambruknya nilai uang pada masa pemerintah Jepang.
Pada masa itu, para orang tua yang mengeluh tentang kesulitan hidup sering membandingkannya saat mereka hidup di zaman normal. Yakni, kehidupan pada masa penjajahan Belanda sampai kedatangan balatentara Jepang. Mereka bilang kehidupan di zaman normal harga barang-barang stabil. Tidak seperti di masa Jepang dan tahun 1960-an.
Tahun 1950-an saya hanya mendapat bekal ke sekolah sepicis (10 sen). Uang segobang (dua setengah sen) sudah dapat membeli nasi beserta tahu dan tempe. Mungkin banyak yang tidak tahu nilai mata uang terkecil di masa itu. Bukan sen, tapi cepeng (setengah sen). Berbentuk bundar sebesar pil yang agak besar. Ongkos naik trem hanya sepicis. Semoga redenominasi (penyederhanaan penyehatan) yang mulai banyak mendapat dukungan akan menguatkan nilai tukar rupiah.
Jangan heran, bila redenominasi rupiah telah terlaksana yang dijadwalkan 2016-2018, uang Rp 100 ribu nilainya menjadi Rp 1.000 uang baru.
Salah satu negara yang sukses mengadakan redenomisasi mata uangnya adalah Turki. Ketika saya berkunjung pertama kali ke Turki pada 1996, saya mengantongi uang berjuta-juta ribu. Maklum ketika itu, satu dolar AS nilainya 107 ribu lira Turki. Dan melompat pesat tahun 2001 - satu dolar AS nilainya 1.650.000 lira Turki. Ketika saya hendak membeli oleh-oleh untuk keluarga, uang dikantongi saya yang jumlahnya jutaan lira Turki tidak mencukupi.
Tahun lalu, ketika saya kembali ke Turki setelah negara itu mengadakan redenominasi mata uangnya, ternjadi keajaiban. Satu dolar AS nilainya hanya 1.26 lira Turki. Karena merasa lebih dekat dengan Eropa di bidang ekonomi dan perdagangan, mata uang Euro lebih banyak digunakan dalam jual beli katimbang dolar AS. Satu Euro nilainya hanya dua lira Turki. Berdasarkan data yang saya peroleh, nilai ini bertahan sejak Turki mengadakan redenominasi mata uangnya. Yang patut diacungkan jempol, harga-harga stabil dan inflasi yang mencapai ratusan lira bisa mereka tekan hanya satu digit.
Indonesia pada masa-masa akhir pemerintahan Bung Karno tepatnya pada 1965 mengadakan kebijaksanaan sanering. Uang Rp 1.000 menjadi seperak. Terjadi kegemparan saat diumumkan setelah sidang kabinet dipimpin Bung Karno.
Yang apes ialah orang yang baru saja mengadakan jual beli. Tapi sayangnya, harga-harga hanya dalam waktu dekat kembali melambung, terutama harga pangan.
Sebelumnya, hanya beberapa bulan setelah penyerahan kedaulatan, tepatnya pada 19 Maret 1950, terjadi pengguntingan yang dikenal dengan 'Gunting Syafrudin'. Uang NICA yang kala itu disebut 'uang merah' digunting menjadi setengah. Sanering juga pernah dilaksanakan pada 25 Agustus 1959 - hanya beberapa bulan setelah kembali ke UUD 1945 --. Nilai uang diturunkan 90 persen. Meski demikian tidak berhasil menstabilkan nilai rupiah, bahkan tahun 1960-an merupakan masa-masa sulit di bidang ekonomi. Inflasi tidak tanggung-tanggung mencapai tiga digit. Dibarengi dengan naiknya harga-harga barang yang melangit.
Keadaan lebih suram terjadi pada masa Jepang (1942-1945). Tong-tong sampah menjadi rebutan antara anjing dan manusia yang kurus kering karena kelaparan merupakan pemandangan yang lumrah. Pada akhir pemerintahan militer Dai Nippon, uang begitu banyak beredar karena asal cetak. Untuk membeli beras saja orang harus membawa uang sebakul, yang menunjukkan bagaimana ambruknya nilai uang pada masa pemerintah Jepang.
Pada masa itu, para orang tua yang mengeluh tentang kesulitan hidup sering membandingkannya saat mereka hidup di zaman normal. Yakni, kehidupan pada masa penjajahan Belanda sampai kedatangan balatentara Jepang. Mereka bilang kehidupan di zaman normal harga barang-barang stabil. Tidak seperti di masa Jepang dan tahun 1960-an.
Tahun 1950-an saya hanya mendapat bekal ke sekolah sepicis (10 sen). Uang segobang (dua setengah sen) sudah dapat membeli nasi beserta tahu dan tempe. Mungkin banyak yang tidak tahu nilai mata uang terkecil di masa itu. Bukan sen, tapi cepeng (setengah sen). Berbentuk bundar sebesar pil yang agak besar. Ongkos naik trem hanya sepicis. Semoga redenominasi (penyederhanaan penyehatan) yang mulai banyak mendapat dukungan akan menguatkan nilai tukar rupiah.
Sumber : Republika
Terima Kasih
0 Komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* : 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Komentar Anda !!!!!