Babylonian Creational Myths - Enuma Elish
Pada mulanya, manusia menciptakan satu Tuhan yang merupakan Penyebab Pertama bagi segala sesuatu dan Penguasa langit dan bumi. Dia tidak terwakili oleh gambaran apa pun dan tidak memiliki kuil atau pendeta yang mengabdi kepadanya. Dia terlalu luhur untuk ibadah manusia yang tak memadai. Perlahan- lahan dia memudar dari kesadaran umatnya. Dia telah menjadi begitu jauh sehingga mereka memutuskan bahwa mereka tidak lagi menginginkannya. Pada akhirnya dia dikatakan telah menghilang.
Begitulah, setidaknya menurut satu teori, yang dipopulerkan oleh Wilhelm Schmidt dalam The Origin of the Idea of God, yang pertama kali terbit pada 1912. Schmidt menyatakan bahwa telah ada suatu monoteisme primitif sebelum manusia mulai menyemba h banyak dewa. Pada awalnya mereka mengakui hanya ada satu Tuhan Tertinggi, yang telah menciptakan dunia dan menata urusan manusia dari kejauhan. Kepercayaan terhadap satu Tuhan Tertinggi (kadang- kadan g disebut Tuhan Langit, karena dia diasosiasikan dengan ketinggian) masih terlihat dalam agama suku-suku pribumi Afrika. Mereka mengungkapkan kerinduan kepada Tuhan melalui doa; percaya bahwa dia mengawasi mereka dan akan menghukum setiap dosa. Namun demikian, dia anehnya tidak hadir dalam kehidupan keseharian mereka; tidak ada kultus khusus untuknya dan dia tidak pernah tampil dalam penggambaran.
Warga suku itu mengatakan bahwa dia tidak bisa diekspresikan dan tidak dapat dicemari oleh dunia manusia. Sebagian orang bahkan mengatakan dia telah “pergi”. Para antropolog berasumsi bahwa Tuhan ini telah menjadi begitu jauh dan mulia sehingga dia sebenarnya telah digantikan oleh ruh yang lebih rendah dan tuhan-tuhan yang lebih mudah dijangkau. Begitu pula, menurut teori Schmidt selanjutnya, di zaman kuno, Tuhan Tertinggi digantikan oleh tuhan-tuhan kuil pagan yang lebih menarik. Pada mulanya, dengan demikian, hanya ada satu Tuhan. Jika demi- kian, monoteisme merupakan salah satu ide tertua yang dikembang- kan manusia untuk menjelaskan misteri dan tragedi kehidupan. Ini juga menunjukkan beberapa masalah yang mungkin akan dihadapi oleh ketuhanan semacam itu.
Adalah mustahil untuk membuktikan hal ini dengan cara apa pun. Telah banyak teori tentang asal usul agama. Namun, tampaknya menciptakan tuhan-tuhan telah sejak lama dilakukan oleh umat manusia. Ketika satu ide keagamaan tidak lagi efektif, maka ia segera akan diganti. Ide-ide ini diam-diam sirna, seperti ide tentang Tuhan Langit, tanpa menimbulkan banyak kegaduhan. Dalam era kita sekarang ini, banyak orang akan mengatakan bahwa Tuhan yang telah disembah berabad-abad oleh umat Yahudi, Kristen, dan Islam telah menjadi sejauh Tuhan Langit. Sebagian lainnya bahkan dengan terang-terangan mengklaim bahwa Tuhan telah mati. Yang jelas dia tampak telah sirna dari kehidupan semakin banyak orang, terutama di Eropa Barat. Mereka berbicara tentang suatu “lubang yang pernah diisi oleh Tuhan” dalam kesadaran mereka karena, meski tampak tak relevan bagi sekelompok orang, dia telah memainkan peran krusial dalam sejarah kita dan merupakan salah satu gagasan terbesar umat manusia sepanjang masa. Untuk memahami apa yang telah hilang dari kita itu—jika memang dia telah hilang—kita perlu melihat apa yang dilakukan manusia ketika mereka mulai menyembah Tuhan ini, apa maknanya, dan bagaimana dia dipahami.
Untuk melakukan itu, kita perlu menelusuri kembali dunia kuno Timur Tengah, tempat gagasan tentang Tuhan kita secara perlahan tumbuh sekitar 14.000 tahun silam. Salah satu alasan mengapa agama tampak tidak relevan pada masa sekarang adalah karena banyak di antara kita tidak lagi memiliki rasa bahwa kita dikelilingi oleh yang gaib. Kultur ilmiah kita telah mendidik kita untuk memusatkan perhatian hanya kepada dunia fisik dan material yang hadir di hadapan kita. Metode menyelidiki dunia seperti ini memang telah membawa banyak hasil. Akan tetapi, salah satu akibatnya adalah kita, sebagaimana yang telah terjadi, kehilangan kepekaan tentang yang “spiritual” atau “suci” seperti yang melingkupi kehidupan masyarakat yang lebih tradisional pada setiap tingkatannya dan yang dahulunya merupakan bagian esensial pengalaman manusia tentang dunia.
Di Kepulauan Laut Selatan, mereka menyebut kekuatan misterius ini sebagai mana; yang lain mengalaminya sebagai sebuah kehadiran atau ruh; kadang-kadang ia dirasakan sebagai sebuah kekuatan impersonal, seperti layaknya sebentuk radioaktivitas atau tenaga listrik. Kekuatan ini diyakini bersemayam dalam diri kepala suku, pepohonan, bebatuan, atau hewan-hewan. Orang Latin mengalami numina (ruh-ruh) dalam semak yang dianggap suci; orang Arab merasakan bahwa daratan dipenuhi oleh jin-jin. Secara alamiah, manusia ingin bersentuhan dengan realitas ini dan memanfaatkannya, tetapi mereka juga ingin sekadar mengaguminya. Ketika orang mulai mempersonalisasi kekuatan gaib dan menjadikannya sebagai tuhan-tuhan, mengasosiasikannya dengan angin, matahari, laut, dan bintang-bintang tetapi memiliki karakteristik manusia, mereka sebenarnya sedang mengekspresikan rasa kedekatan dengan yang gaib itu dan dengan dunia di sekeliling mereka.
Rudolf Otto, ahli sejarah agama berkebangsaan Jerman yang menulis buku penting The Idea of the Holy pada 1917, percaya bahwa rasa tentang gaib ini (numinous) adalah dasar dari agama. Perasaan itu mendahului setiap hasrat untuk menjelaskan asal usul dunia atau menemukan landasan bagi perilaku beretika. Kekuatan gaib dirasakan oleh manusia dalam cara yang berbeda-beda—terkadang ia mengins- pirasikan kegirangan liar dan memabukkan; terkadang ketenteraman mendalam, terkadang orang merasa kecut, kagum, dan hina di hadapan kehadiran kekuatan misterius yang melekat dalam setiap aspek kehidupan. Ketika manusia mulai membentuk mitos dan menyembah dewa-dewa, mereka tidak sedang mencari penafsiran harfiah atas fenomena alam.
Kisah-kisah simbolik, lukisan dan ukiran di gua adalah usaha untuk mengungkapkan kekaguman mereka dan untuk menghubungkan misteri yang luas ini dengan kehidupan mereka sendiri; bahkan sebenarnya para sastrawan, seniman, dan pemusik pada masa sekarang juga sering dipengaruhi oleh perasaan yang sama. Pada periode Paleolitik, misalnya, ketika pertanian mulai berkembang, kultus Dewi Ibu mengungkapkan perasaan bahwa kesuburan yang mentransformasi kehidupan manusia sebenarnya adalah sakral. Para seniman memahat patung-patung yang melukiskannya sebagai seorang perempuan hamil telanjang yang banyak ditemukan oleh para arkeolog tersebar di seluruh Eropa, Timur Tengah, dan India. Dewi Ibu itu tetap penting secara imajinatif selama berabad-abad. Seperti Tuhan Langit yang lama, dia kemudian masuk ke dalam kuil-kuil yang lama dan menempati posisi sejajar dengan dewa-dewa lain yang lebih tua. Dia dahulunya merupakan salah satu dewa terkuat, jelas lebih kuat daripada Dewa Langit, yang terus menjadi sosok yang remang-remang. Dia disebut Inana di Sumeria kuno, Isytar di Babilonia, Anat di Kanaan, Isis di Mesir, dan Aphrodite di Yunani. Kisah yang benar-benar mirip terdapat di semua kebudayaan ini untuk mengekspresikan peranannya di dalam kehidupa n spiritual manusia. Mitos-mitos ini tidak dimaksudkan untuk dipahami secara harfiah, tetapi merupakan upaya metaforis untuk meng- gambarkan sebuah realitas yang terlalu rumit dan pelik untuk bisa diekspresikan dengan cara lain. Kisah-kisah dramatis dan mem- bangkitkan emosi tentang dewa-dewi ini membantu manusia untuk menyuarakan perasaan mereka tentang kekuatan dahsyat, namun tak terlihat yang mengelilingi mereka.
Di dunia kuno memang tampaknya manusia percaya bahwa hanya melalui keterlibatan dalam kehidupan yang suci ini mereka bisa menjadi manusia yang sesungguhnya.
Kehidupan duniawi amat rentan dan dihantui bayang-bayang kematian, tetapi jika manusia meneladani tindakan dewa-dewa maka mereka akan memiliki dalam kadar tertentu kekuatan dan keefektifan dewa-dewa itu. Dengan demikian, bisa dikatakan bahw a dewa-dew a itu telah memperlihatkan kepad a manusia bagaimana cara membangun kota-kota dan kuil-kuil mereka, yang merupakan salinan dari tempat mereka bersemayam di langit. Dunia suci para dewa—seperti yang sering diceritakan di dalam mitos—bukanlah sekadar sebuah ideal yang ke arah itu manusia harus menuju, tetapi merupakan prototipe eksistensi manusia; itulah pola atau arketipe orisinal yang menjadi model kehidupan kita di sini. Dengan demikian, segala sesuatu yang ada di bumi dipandang sebagai replika dari semua yang ada di dunia ilahiah. Inilah persepsi yang membentuk mitologi, organisasi ritual dan sosial kebanyakan kebudayan antik dan terus mempengaruhi lebih banyak masyarakat tradisional pada era kita sekarang ini.
Di Iran kuno, misalnya, setiap orang atau objek di dunia jasadi (getik) diyakini mempunyai padanan- nya di dunia arketipal realitas suci (menok). Ini adalah perspektif yang sulit untu k kita apresiasi di dunia modern , karena kita memandang autonomi dan kebebasan sebagai nilai kemanusiaan yang tinggi. Namun demikian, ungkapan terkenal post coitum omne animal tristist est tetap mengungkapkan pengalaman yang sama: setelah suatu momen yang menegangkan dan dinanti-nanti dengan penuh harap, kita sering merasa kehilangan sesuatu yang lebih besar, namun senantiasa luput dari jangkauan- kita.
Meniru tuhan masih menjadi ajaran agama yang penting: beristirahat pada hari Sabbath atau mencuci kaki pada hari Kamis Maundy—perbuatan-perbuatan yang tidak bermakna dalam dirinya sendiri—kini menjadi signifikan dan sakral karena orang-orang percaya bahwa perbuatan semacam itu pernah dikerjakan oleh Tuhan.
Spiritualitas yang serupa telah menjadi ciri dunia Mesopotamia kuno. Lembah Tigris-Eufrat, yang berada di wilayah pemerintahan Irak kini, telah dihuni sejak 4000 SM oleh kelompok manusia yang dikenal sebagai orang Sumeria. Mereka telah membangun salah satu kebudayaan oikumene (dunia berperadaban) terbesar pertama. Di kota-kota Ur, Erech, dan Kish, orang Sumeria mencipta aksara cuneiform mereka, membangun menara-kuil hebat yang disebut ziggurat, dan mengembangkan hukum, sastra, dan mitologi yang mengesan- kan. Tak lama berselang, kawasan itu diinvasi oleh orang Akkadian Semitik, yang kemudian mengadopsi bahasa dan peradaban Sumeria. Lalu, masih sekitar 2000 SM, orang Amorit menaklukkan peradaban Sumeria-Akkadian dan menjadikan Babilonia ibu kota mereka. Akhirnya, sekitar 500 tahun kemudian, orang Asyur bermukim di Asyur yang tak jauh dari situ lalu menguasai Babilonia pada abad kedelapan SM.
Tradisi Babilonia ini juga mempengaruhi mitologi dan agama Kanaan, yang akan menjadi Tanah yang Dijanjikan bagi orang Israel kuno. Sebagaimana masyarakat di dunia kuno lainnya, orang Babilonia menisbahkan prestasi kebudayaan mereka kepada dewa-dewa yang telah mewahyukan gaya hidup mereka sendiri kepad a nene k moyan g mitikal masyarakat Babilonia. Denga n demikian, Babilonia dianggap sebagai gambaran surga, setiap candi- nya adalah replika kerajaan langit. Keterkaitan dengan alam suci ini dirayakan setiap tahun dalam Festival Tahun Baru yang meriah, yang telah secara kukuh dikembangkan pada abad ketujuh SM. Dirayakan di kota suci Babilonia selama bulan Nisan—atau April— Festival itu secara khidmat memahkotai raja dan menahbiska n kekuasaannya untuk tahun berikutnya.
Namun, stabilitas politik ini hanya bisa bertahan selama ia berpartisipasi di dalam pemerintahan dewa-dewa yang lebih abadi dan efektif, yang telah mengenyahkan kekacauan primordial ketika dunia pertama kali diciptakan. Dengan demikian, Festival sebelas hari suci itu mengantarkan para partisipan dari zaman yang profan ke alam para dewa yang sakral dan abadi melalui tindakan ritual. Seekor domba disembelih untuk meninggalkan tahun yang lama; penghinaan publik terhadap raja dan pemahkotaan raja yang zalim sebagai pengganti membangkitkan kembali kekacauan asal; pemberontakan menghidupkan kembali pertarungan dewa-dewa melawan kekuatan perusak.
Dengan demikian, perbuatan-perbuatan simbolik memiliki nilai sakramental; tindakan itu membuat orang Babilonia mampu meneng- gelamkan diri ke dalam kekuatan suci atau mana yang menjadi tempat bergantung peradaban besar mereka. Kebudayaan dirasakan sebagai sebuah pencapaian yang rentan, yang selalu bisa menjadi korban kekuatan yang mengacaukan dan memecah belah. Pada senja hari keempat Festival itu, para pendeta dan penyanyi paduan suara memenuhi bait suci untuk menyenandungkan Enuma Elish, puisi epik yang merayakan kemenangan para dewa atas kejahatan. Kisah ini bukanlah peristiwa faktual tentang asal usul fisik kehidupan di bumi, melainkan suatu upaya simbolik yang hati-hati untuk meng- ungkap sebuah misteri besar dan membebaskan kekuatan sucinya.
Pengisahan harfiah tentang penciptaan adalah mustahil, sebab tidak ada orang yang hadir pada saat peristiwa-peristiwa yang tak ter- bayangkan itu terjadi: mitos dan simbol dengan demikian merupakan satu-satunya cara yang sesuai untuk menjelaskannya. Pandangan sekilas atas Enuma Elish memberi kita wawasan tentang spiritualitas yang melahirkan konsep kita tentang Tuhan Pencipta berabad-abad kemudian. Meskipun kisah biblikal dan Qurani tentang penciptaan akan mengambil bentuk yang sama sekali berbeda, mitos-mitos aneh ini tidak pernah benar-benar hilang, tetapi akan kembali masuk ke dalam sejarah Tuhan di kemudian hari, dikemas dalam sebuah idiom monoteistik.
Kisah dimulai dengan penciptaan dewa-dewa itu sendiri, sebuah tema yang—sebagaimana akan kita saksikan nanti—menjadi begitu penting dalam mistisisme Yahudi dan Muslim. Pada mulanya, seperti dituturkan dalam Enuma Elish, dewa-dewa muncul berpasangan dari sebuah substansi berair yang tidak berbentuk—sebuah substansi yang denga n sendirinya suci. Dalam mitos Babilonia—seperti yang kemudian tercantum dalam Alkitab—tak ada penciptaan yang bermula dari ketiadaan, itu sebuah gagasan yang asing bagi dunia kuno. Sebelum dewa-dewa maupun manusia ada, bahan mentah yang suci ini telah ada secara abadi. Ketika orang Babilonia mencoba mem- bayangkan zat primordial suci ini, mereka berpikir ia pasti mirip dengan tanah berpaya di Mesopotamia, yang tak henti-hentinya terancam banjir yang akan menyapu habis karya-karya manusia yang lemah.
Oleh karena itu, dalam Enuma Elish, kekacauan {chaos) bukan berupa api panas yang mendidihkan, melainkan sebuah keadaan di mana segala sesuatu menjadi tanpa batas, definisi, dan identitas:Tatkala yang manis dan pahit menyatu, tak ada buluh yang terjalin, tak ada ketergesaan yang mengeruhkan air, dewa-dewa tak bernama, tak berwatak dan, tak bermasa depan.Kemudian tiga dewa muncul dari pusat tanah berpaya; Apsu(diidentifikasikan sebagai air sungai yang manis), istrinya, Tiamat (laut yang asin), dan Mummu, Rahim kekacauan. Namun, ketiga dewa ini bisa dikatakan merupakan model awal dan inferior yang me- merlukan perbaikan. Nama “Apsu” dan “Tiamat” dapat diterjemahkan sebagai “jurang”, “kehampaan” atau “teluk tak berdasar”. Mereka sama-sama memiliki potensi tak berbentuk dari ketiadaan bentuk yang azali dan belum mencapai suatu identitas yang jelas.
Selanjutnya, serangkaian dewa-dewa lain muncul dari mereka dalam proses yang disebut sebagai emanasi, yang akan menjadi sangat penting dalam sejarah Tuhan kita sendiri. Dewa-dewa baru dilahirkan dari dewa-dewa yang lain secara berpasangan, masing- masingnya mendapatkan definisi yang lebih besar dari yang sebelumnya seiring langkah maju evolusi keilahian. Pertama-tama datang Lahmu dan Lahamn (nama-nama mereka berarti “endapan lumpur”; air dan tanah masih bercampur menjadi satu). Kemudian muncul Ansher dan Kishar yang secara berurutan diidentifikasi dengan horizon langit dan laut. Setelah itu Anu (langit) dan Ea (bumi) tiba dan rae- nyempurnakan proses itu. Alam suci mempunyai langit, sungai-sungai, dan bumi yang berbeda dan terpisah satu sama lain. Namun, penciptaan baru saja dimulai; kekuatan jahat dan pemecah belah hanya bisa dikalahkan melalui perjuangan sengit dan tanpa henti.
Dewa- dewa yang lebih muda dan dinamis bangkit melawan tetua mereka, tetapi meskipun Ea mampu mengalahkan Apsu dan Mummu, dia tak berdaya menghadapi Tiamat, yang menghasilkan serombonga n monster beraneka ragam bentuk untuk berperang atas namanya. Untungnya Ea punya anak kandung yang luar biasa: Marduk, Dewa Matahari, spesimen keturunan dewa yang paling sempurna. Dalam sebuah pertemuan Majelis Agung para dewa, Marduk berjanji me- merangi Tiamat dengan syarat bahwa dialah yang nanti menjadi penguasa mereka. Akan tetapi, dia baru berhasil membunuh Tiamat dengan bersusah payah dan setelah melewati pertarungan yang lama dan berbahaya. Dalam mitos ini, kreativitas adalah sebuah pertarungan, diraih denga n susah payah setelah menempuh berbagai macam rintangan.
Bagaimanapun, pada akhirnya, Marduk berhasil mengangkangi mayat Tiamat yang raksasa dan memutuskan untuk menciptakan sebuah dunia baru; dia membelah tubuh Tiamat menjadi dua untuk membentuk lengkungan langit dan bumi manusia; kemudian dia merancang undang-undang yang akan menjaga agar segala sesuatu tetap berada pada posisinya yang telah ditentukan. Ketertiban mesti dicapai, tetapi kemenangan belum lagi sempurna. Kemenangan itu mesti dimantapkan kembali, melalui liturgi khusus, tahun demi tahun. Kemudian para dewa berkumpul di Babilonia, pusat bumi baru, dan mendirikan sebuah kuil tempat ritus-ritus langit diselenggarakan. Hasilnya adalah ziggurat besar untuk menghormati Marduk,“kuil bumi, simbol ketakterbatasan langit”.Tatkala kuil itu telah selesai, Marduk menempati singgasananya di puncak kuil dan dewa-dewa menggemakan suara:“Inilah Babilonia, kota kesayangan para dewa, tanah airmu yang tercinta!”Kemudian mereka melakukan liturgi“ dari sumber di mana semesta memperoleh strukturnya, dunia gaib menjadi nyata dan dewa-dewa mengambil tempat mereka di dalam semesta.”
Hukum dan ritual ini mengikat setiap orang; bahkan para dewa mesti menaatinya demi menjamin keberlangsungan ciptaan. Mitos mengekspresikan makna batin peradaban, sebagaimana orang Babilonia melihatnya. Mereka mengetahui betul bahwa nenek moyang mereka sendiri yang membangun ziggurat, tetapi kisah Enuma Elish menyuarakan kepercayaan mereka bahwa usaha kreatif mereka hanya mungkin bertahan jika memiliki keterkaitan dengan kekuatan ilahi. Liturgi yang mereka rayakan di Tahun Baru telah diciptakan sebelum manusia ada: liturgi itu tersurat dalam hakikat segala sesuatu, yang bahkan dewa-dewa tunduk kepadanya. Mitos itu juga mengekspresikan keyakinan mereka bahwa Babilonia adalah tempat suci, pusat dunia, dan tanah air dewata—sebuah pernyataan yang penting dalam hampir semua sistem keagamaan kuno. Ide tentang kota suci, tempat manusia merasakan kedekatan dengan kekuatan sakral, sumber segala wujud dan kesaktian, menjadi penting dalam ketiga agama monoteistik.
Akhirnya, hampir seperti sebuah kebetulan saja, Marduk rnenciptakan manusia. Marduk mengalahkan Kingu (teman dungu Tiamat yang diciptakannya setelah kekalahan Apsu), menebasnya, dan membentuk manusia pertama dengan cara mencampur darah dewa dengan abu. Para dewa menyaksikan dengan perasaan kaget dan takjub. Ada yang sedikit lucu dalam kisah mitikal tentang asal usul manusia ini; meski merupakan puncak penciptaan, tetapi manusia digambarkan berasal dari salah satu dewa yang paling bodoh dan tidak sakti. Akan tetapi, kisah itu mengandung satu hal penting lain. Manusia pertama diciptakan dari substansi seorang dewa; karenanya dia memiliki hakikat ilahiah, sekalipun terbatas. Tak ada jurang pemisah antara manusia dan dewa-dewa. Dunia alamiah, manusia, dan para dewa semuanya memiliki hakikat yang sama dan diturunkan dari substansi suci yang sama pula. Pandangan pagan bersifat holistik. Dewa-dewa tidaklah terasing dari umat manusia dalam kawasan ont o logis yang terpisah: ketuhanan secara esensial tidak berbeda dari kemanusiaan. Oleh karena itu, tidak diperlukan sebuah wahyu khusus dari para dewa atau undang-undang ilahi untuk diturunkan ke bumi. Dewa-dewa dan manusia berbagi penderitaan yang sama, satu-satu- nya perbedaan di antara mereka adalah bahwa dewa-dewa itu lebih kuat dan abadi.
Visi holistik ini tidak terbatas di Timur Tengah, tetapi lazim di seluruh dunia kuno. Pada abad keenam SM, Pindar mengungkapkan versi Yunani tentang keyakinan ini dalam odenya mengenai per- tandingan Olimpiade:
Satu pertarungan, satu antara manusia dan dewa-dewa; Dari satu ibu kita berdua menarik napas. Tetapi perbedaan kekuatan dalam segalanya Memisahkan kita; Karena tanpa yang lain kita tiada, kecuali langit yang perkasa Tetap tidak berubah untuk selamanya. Namun dalam keagungan pikiran atau jasad Kita bisa menjadi seperti yang Abadi.
Bukannya memandang para atlet sebagaimana adanya, yang masing-masing berpacu mencapai prestasi pribadi terbaiknya, Pindar menempatkan mereka berhadap-hadapan dengan dewa-dewa, yang menjadi pola bagi semua cita-cita manusia. Manusia meniru dewa- dewa bukan sebagai wujud yang tak berdaya, melainkan untuk me- menuhi potensi mereka yang secara esensial berwatak ilahiah.Mitos Marduk dan Tiamat tampaknya telah mempengaruhi orang Kanaan, yang memiliki kisah yang amat mirip tentang Baal-Habad, dewa badai dan kesuburan, yang sering disebut dalam Alkitab dengan cara yang jauh dari memuji. Kisah pertarungan Baal dengan Yam- Nahar, dewa laut dan sungai, diceritakan dalam lembaran yang ditulis sekitar abad keempat belas SM. Baal dan Yam keduanya tinggal bersama El, Dewa Tertinggi Kanaan. Pada Majelis El, Yam menuntut agar Baal diserahkan kepadanya. Dengan menggunakan dua senjata magis, Baal malah mengalahkan Yam dan nyaris membunuhnya andaikata Asyera (istri El dan ibu para dewa) tidak memohon dengan mengatakan bahwa membunuh lawan yang sudah tidak berdaya adalah tidak terhormat. Baal merasa malu dan melepaskan Yam, yang mewakili keganasan laut clan sungai yang tak henti-hentinya mengancam akan membanjiri bumi. Sedangkan Baal, dewa badai, membuat bumi menjadi subur.
Versi lain dari mitos itu menyebutkan bahwa Baal membunuh Lotan, naga berkepala-tujuh, yang dalam bahasa Ibrani disebut Leviathan. Dalam hampir semua kebudayaan, naga menyimbolkan sesuatu yang laten, tak berbentuk, dan tak kentara. Dengan demikian, Baal telah menghentikan kemungkinan untuk kembali ke dalam ketiadaan bentuk primal lewat tindakan yang betul-betul kreatif dan dianugerahi sebuah istana indah yang didirikan oleh para dewa untuk menghormatinya. Oleh karena itu, dalam setiap agama kuno, kreativi- tas dipandang suci: kita masih menggunakan bahasa agama untuk berbicara tentang “inspirasi” kreatif yang memperbarui realitas dan menyegarkan pemaknaan tentang dunia.
Akan tetapi, Baal kemudian mengalami kemunduran: dia mati dan harus turun ke alam Mot, dewa kematian dan sterilitas. Tatkala mendengar tentang nasib anaknya, Dewa Tertinggi El turun dari singgasananya, membalut Baal dan merajah pipinya, namun tetap tidak bisa menebus putranya. Adalah Anat, kekasih dan saudara pe- rempuan Baal, yang meninggalkan alam suci dan pergi mencari belahan jiwanya, “merindukannya bagaikan induk sapi atau induk domba mencari anaknya.”
Ketika dia menemukan mayat Baal, dia menyelenggarakan upacara pemakaman untuk mengagungkannya, menangkap Mot, menebasnya dengan pedang, membelah, membakar, dan menginjak-injaknya seperti jagung sebelum kemudian menyemaikan- nya ke tanah.
Kisah yang mirip juga diceritakan tentang dewi agung lainnya— Inana, Isytar, dan Isis—-yang mencari mayat dewa dan membawa kehidupan baru ke atas bumi. Akan tetapi, kemenangan Anat harus diperbarui dan tahun ke tahun melalui upacara ritual. Belakangan— kita tak tahu entah dengan cara bagaimana, sebab pengetahuan kita tidak lengkap—Baal hidup lagi dan kembali ke pangkuan Anat. Pemujaan akan keutuhan dan harmoni, yang disimbolisasikan oleh kesatuan seks, dirayakan melalui seks ritual di kalangan masyarakat Kanaan kuno. Dengan meniru para dewa melalui cara ini, umat manusia ikut berjuang melawan sterilitas dan memastikan kreativitas serta kesuburan dunia. Kematian seorang dewa, pencarian sang dewi, dan keberhasilan untuk kembali ke alam suci merupakan tema-tema keagamaan yang konstan dalam banyak budaya dan akan muncul kembali dalam agama-agama dengan Satu Tuhan yang disembah oleh umat Yahudi, Kristen, dan Islam.
Agama ini di dalam Alkitab dinisbahkan kepada Abraham (Nabi Ibrahim), yang meninggalkan Ur dan akhirnya menetap di Kanaan pada suatu masa antara abad kedua puluh dan kesembilan belas SM. Kita tak memiliki riwayat kontemporer tentang Abraham, tetapi para peneliti menduga bahwa Abraham mungkin sekali merupakan salah seorang pemimpin kafilah pengembara yang membawa rakyatnya dari Mesopotamia menuju Laut Tengah pada akhir milenium ketiga SM. Para pengembara ini—sebagian dari mereka disebut Abiru, Apiru, dan Habiru dalam sumber-sumber Mesopotamia dan Mesir—berbicara dalam bahasa Semitik Barat, yang mana bahasa Ibrani adalah salah satunya.
Mereka bukanlah kaum nomad padang pasir yang reguler sebagaimana orang Badui yang berimigrasi bersama ternak-ternak mereka sesuai pergantian musim. Mereka lebih sulit diklasifikasikan dan sering terlibat konflik dengan autoritas-autoritas konservatif. Status kultural mereka biasanya lebih tinggi dibanding penduduk padang pasir itu. Sebagian bekerja sebagai tentara bayaran, pegawai pemerin- tah, ada yang menjadi pedagang, pelayan, atau tukang besi. Sebagian di antara mereka menjadi kaya raya dan kemudian berupaya mem- punyai tanah dan bermukim menetap. Kisah-kisah tentang Abraham di dalam kitab Kejadian menceritakan bahwa dia bekerja pada Raja Sodom sebagai prajurit bayaran dan bahwa dia sering berkonflik dengan autoritas Kanaan dan daerah sekitarnya. Pada akhirnya, ketika istrinya, Sara, meninggal, Abraham membeli tanah di Hebron, yang sekarang terletak di Tepi Barat.
Kisah dalam kitab Kejadian tentang Abraham dan anak keturunannya mengindikasikan adanya tiga gelombang kedatangan orang Ibrani di Kanaan, kawasan Israel pada era modern. Salah satunya terkait denga n Abraham dan Hebron , terjadi sekitar 1850 SM. Gelombang kedua berkaitan dengan cucu Abraham, Yakub, yang diganti namanya menjadi Israel (“Semoga Tuhan menunjukkan kekuasaannya”); dia menetap di Sikhem, yang sekarang menjadi kota Arab Nablus di Tepi Barat. Alkitab menceritakan kepada kita bahwa putra Yakub, yang menjadi leluhur dua belas suku keturunan Israel, beremigrasi ke Mesir selama musim paceklik yang hebat di Kanaan. Gelombang ketiga pemukiman Ibrani terjadi sekitar 1200 SM ketika suku-suku yang mengaku keturunan Abraham tiba di Kanaan dari Mesir. Mereka mengatakan bahwa mereka telah dijadikan budak oleh orang Mesir, tetapi dimerdekakan oleh suatu ilah bernama Yahweh, yang juga merupakan tuhan pemimpin mereka, Musa. Setelah mendesak masuk ke Kanaan, mereka beraliansi dengan orang Ibrani yang ada di sana dan kemudian disebut sebagai orang Israel. Alkitab membuat jelas bahwa orang-orang yang kita kenal sebagai bangsa Israel kuno merupakan konfederasi berbagai kelompok etnis, yang secara mendasar disatukan oleh kesetiaan mereka kepad a Yahweh, Tuhan Musa. Akan tetapi, kisah biblikal itu ditulis beberapa abad setelahnya, sekitar abad kedelapan SM, meskipun jelas disandar- kan pada sumber-sumber narasi yang lebih awal.
Dalam abad kesembilan,-beberapa sarjana biblikal Jerman mengembangkan metode kritis yang menguraikan empat sumber berbeda dalam lima kitab pertama Alkitab: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Ini kemudian dikumpulkan menjadi sebuah naskah akhir yang kita kenal sebagai Lima Kitab Musa (Pentateukh) pada abad kelima SM. Bentuk kritisisme semacam ini telah mendapat banyak perlakuan keras, namun tak ada seorang pun yang mampu menciptakan teori yang lebih memuaskan untuk menjelaskan mengapa terdapat kisah yang cukup berbeda tentang peristiwa-peristiwa biblikal penting, seperti Penciptaan dan Air Bah, dan mengapa kadangkala Alkitab mengandung pertentangan dalam dirinya sendiri.
Dua penulis biblikal paling awal, yang karyanya dapat ditemukan dalam kitab Kejadian dan Keluaran, kemungkinan menulis pada abad kedelapan SM, walaupun ada yang menyebut kemungkinan penulisan di masa yang lebih awal. Salah satunya dikenal sebagai “J” karena dia menyebut nama Tuhannya dengan “Yahweh”, yang lainnya disebut “E” karena dia lebih suka meng- gunakan nama ketuhanan yang lebih formal, “Elohim”. Pada abad kedelapan, orang Israel telah membagi Kanaan menjadi wilayah dalam dua kerajaan terpisah. J menulis di Kerajaan Yehuda di sebelah selatan, sementara E berasal dari Kerajaan Israel di sebelah utara
Kita akan mendiskusikan dua sumber lain Lima Kitab Musa—tradisi Deuteronomis (D) dan Para Imam (P) tentang sejarah Israel kuno—pada Bab 2. Kita aka n melihat bahw a dalam banyak hal, baik J dan E mempunyai perspektif keagamaan yang mirip denga n tetangga mereka di Timur Tengah, tetapi kisah-kisah mereka memang mem- perlihatkan bahwa pada abad kedelapan SM, orang Israel mulai mengembangkan visi mereka sendiri yang khas. J, misalnya, memulai sejarah Tuhannya dengan kisah tentang penciptaan dunia, yang, jika dibandingkan dengan Enuma Elish, sangat tidak antusias:
Ketika TUHAN [Yahweh] Allah menjadikan bumi dan langit—belum ada semak apa pun di bumi, belum timbul tumbuh-tumbuhan apa pun di padang, sebab TUHAN Allah belum menurunkan hujan ke bumi, dan belum ada orang untuk mengusahakan tanah itu; tetapi, ada kabut naik ke atas dari bumi dan membasahi seluruh permukaan bumi itu—ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia (adam) itu dari debu tanah (adamah) dan mengembuskan napas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.
Ini benar-benar merupakan titik berangkat yang baru. Alih-alih berkonsentrasi kepada penciptaan dunia dan pada periode prasejarah sebagaimana kaum pagan sezamannya di Mesopotamia dan Kanaan, J lebih tertarik pada periode historis yang biasa. Tak terdapat keter- tarikan yang sungguh-sungguh tentang penciptaan di Israel hingga abad keenam SM ketika pengarang yang kita sebut “P” menuliskan kisahnya yang hebat dalam apa yang sekarang merupakan bab pertama kitab Kejadian. J tidak secara mutlak yakin bahwa Yahweh adalah satu-satunya pencipta langit dan bumi. Namun, yang paling mencolok adalah persepsi J tentang perbedaan nyata antara manusia dengan tuhan. Bukannya tersusun dari zat suci yang sama dengan tuhannya, manusia (adam), bagai sebuah permainan kata, adalah bagiah dari tanah (adamah).
Tidak seperti tetangga pagannya, J tidak mengesampingkan sejarah duniawi sebagai sejarah yang profan, lemah, dan tak sub- stansial dibandingkan sejarah dewa-dewa yang suci dan primordial. Dia bergegas melewati peristiwa-peristiwa prasejarah hingga tiba di penghujung periode mitis, yang mencakup kisah-kisah seperti Air Bah dan Menara Babel, kemudian tiba di permulaan sejarah Israel. Ini secara mendadak diawali pada bab kedua belas tatkala manusia Abram, yang kemudian diberi nama baru Abraham (“bapa sejumlah besar bangsa”), diperintahkan oleh Yahweh meninggalkan keluarga- nya di Haran, yang kini menjadi wilayah timur Turki, dan bermigrasi ke Kanaan dekat Laut Tengah. Kita diberi tahu bahwa ayahnya, Terah, seorang pagan, sudah lebih dahulu bermigrasi ke arah barat dari Ur bersama keluarganya. Kini Yahweh mengatakan kepad a Abraham bahwa dia memiliki takdir istimewa: dia akan menjadi bapak sebuah bangsa besar yang suatu hari akan berjumlah lebih banyak daripada bintang-bintang di langit, dan suatu ketika anak keturunannya akan menguasai tanah Kanaan sebagai milik mereka. Kisah J tentang panggilan bagi Abraham ini menetapkan nada awal bagi sejarah Tuhan ini di masa depan. Di Timur Tengah kuno, mana yang suci dialami dalam ritual dan mitos. Marduk, Baal, dan Anat tidak diharap- kan terlibat dalam kehidupan awam yang profan dari para penyem- bahnya: tindakan-tindakan mereka telah berlangsung dalam waktu yang sakral. Akan tetapi, kekuasaan Tuhan Israel bekerja secara langsung dalam peristiwa-peristiwa di dunia nyata. Dia dialami sebagai sesuatu yang ada di sini dan pada saat ini. Wahyu pertamanya berisi- kan sebuah titah: Abraham harus meninggalkan negerinya dan pergi ke Kanaan.
Akan tetapi, siapakah Yahweh? Apakah Abraham menyembah Tuhan yang sama dengan Musa atau apakah dia mengenalnya dengan nama yang berbeda? Ini adalah persoalan penting bagi kita pada masa sekarang, tetapi Alkitab, anehnya, tampak kabur dalam hal ini dan memberikan jawaban yang bertentangan. J menyatakan bahwa manusia telah menyembah Yahweh sejak masa cucu Adam, tetapi pada abad keenam, P sepertinya menyiratkan bahwa orang Israel tidak pernah mendengar tentang Yahweh hingga dia menampakkan diri kepada Musa di Semak Menyala. P membuat Yahweh menjelaskan bahwa sebenarnya dia adalah Tuhan yang sama dengan Tuhan Abraham, seakan-akan ini merupakan pernyataan yang agak kontro- versial: dia mengatakan kepada Musa bahwa Abraham memanggilnya “El Shaddai” dan tidak mengetahui nama suci “Yahweh”.
Kesenjangan itu tampaknya tidak terlalu merisaukan para penulis atau editor biblikal. J selamanya menyebut tuhannya “Yahweh”: pada masa dia menuliskan itu, Yahweh memang adalah Tuhan Israel dan itulah kenyataannya. Agama Israel bersifat pragmatis dan hanya sedikit memedulika n perincian spekulatif semacam ini yang biasanya menarik perhatian kita sekarang. Namun demikian, kita tidak bisa berasumsi bahwa Abraham dan Musa beriman kepada Tuhan mereka dengan cara sebagaimana kita saat ini. Kisah-kisah biblikal dan sejarah Israel bjegitu populer sehingga kita cenderung memproyeksikan pengetahuan kita tentang agama Yahudi yang kemudian kepada tokoh-tokoh sejarah awal yang terkemuka ini. Oleh karena itu, sering kita asumsikan bahwa ketiga patriark Israel—Abraham, putranya Ishak, dan cucunya Yakub—adalah monoteis, bahwa mereka beriman kepada hanya satu Tuhan. Keadaannya barangkali tidak demikian. Bahkan mungkin lebih akurat untuk menyebut orang-orang Ibrani awal ini adalah kaum pagan yang banyak memiliki kesamaan ke- percayaan keagamaan dengan tetangga mereka di Kanaan. Mereka mungkin sekali juga meyakini eksistensi sesembahan, seperti Marduk, Baal, dan Anat. Mungkin pula tidak semua mereka menyembah ilah yang sama: barangkali Tuhan Abraham adalah “Takut” atau “Saudara Sesuku”, Tuhan Ishak adalah “Yang Perkasa”, dan Tuhan Yakub adalah tiga tuhan yang berbeda.
Kita bisa melangkah lebih jauh. Adalah sangat mungkin bahwa Tuhan Abraham adalah El, Tuhan Tertinggi Kanaan. Tuhan itu mem- perkenalkan dirinya kepada Abraham sebagai El Shaddai (El Pegu- nungan), salah satu gelar tradisional El.9 Di tempat lain, dia disebut El Eliyon (Tuhan yang Mahatinggi) atau El dari Betel. Nama Tuhan Tertinggi Kanaan terekam dalam nama-nama berbahasa Ibrani, seperti Isra-El atau Ishma-El. Mereka mengalaminya melalui cara-cara yang tidak lazim bagi kaum pagan Timur Tengah. Akan kita saksikan bahwa beberapa abad kemudian orang Israel menemukan mana atau “kesucian” Yahweh sebagai pengalaman yang menggentarkan. Di Gunung Sinai, misalnya, dia menampakkan diri kepada Musa di tengah letusan gunun g api yang menginspirasikan kekaguman .
Sebagai perbandingan, El bagi Abraham adalah tuhan yang sangat lembut. Dia menampakkan diri kepada Abraham sebagai seorang teman dan kadang dengan rupa manusia. Jenis penampakan ini, disebut sebagai epifani, cukup lazim di dunia pagan kuno. Meskipun biasanya dewa-dewa tidak diharapkan campur tangan langsung terhadap kehidupan terbatas umat manusia, beberapa individu istimewa di era mitikal telah bertemu muka dengan dewa-dewa mereka.
Terima Kasih
0 Komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* : 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Komentar Anda !!!!!