Kasus ijazah palsu sebenarnya bukan berita baru. Tapi, begitu fenomena  ini mencuat lagi ke permukaan, tetap saja menyita perhatian luar biasa.  Bagaimana tidak. Kasus ijazah palsu bukan saja bisa melibatkan orang  biasa, tapi sering dikabarkan melibatkan orang beken di jajaran eksekutif atau legislatif. Kenapa?
Yang jelas, ada orang yang demikian gelap mata untuk memilih cara instan mendapatkan ijazah. Dengan merogoh kantong dalam jumlah tidak sedikit, seseorang pun mendapatkan “ijazah” walau tak pernah menyelesaikan pendidikan. Fenomena ini makin tumbuh-subur karena diduga ada semacam sindikat yang ikut bermain.
Tentu  saja, akibatnya bisa runyam. Jika fenomena ini tak mampu dicegah,  jangan-jangan lulusan lembaga pendidikan yang disebut-sebut berbasis  kompetensi, hanya manis di bibir saja. Nah, seorang yang dinyatakan  lulus dengan disiplin ilmu tertentu, begitu diserahkan tanggungjawab,  apakah dimungkinkan akan sangat tidak profesional kalau ijazah yang diperolehnya justru dengan cara simsalabim?
Belakangan  kembali santer dikabarkan sejumlah oknum yang dituding menggunakan  ijazah palsu. Mereka duduk manis sambil ongkang kaki, kemudian dapat  “ijazah”. Ada yang dikabarkan kemudian lulus dalam seleksi penerimaan  Calon Pegawai Negeri Sipil. Malah dikabarkan ada anak petinggi di kabupaten.
Persoalan  ini ternyata berbuntut panjang. Satu perguruan tinggi di Medan  melaporkan penggunaan ijazah palsu yang dilakukan dengan mengatasnamakan  lembaga mereka. Tidak tanggung-tanggung, bukti-bukti pemalsuan itu  diserahkan ke aparat di Mapoldasu beberapa hari lalu. Pengusutan pun  sedang berlangsung. Akankah “permainan” dalam jual-beli ijazah ini akan  bisa dihentikan sampai di sini?
Untuk melihat fenomena ijazah dan gelar palsu, yang tampaknya terus terjadi dari tahun ke tahun, berikut wawancara Irham Hagabean Nasution dengan pengamat pendidikan yang juga Ketua Dewan Pendidikan Kota Medan DR Matsuhito Solin, M.Pd (MS) di Medan, Selasa (15/11).
IHN: Menurut Anda, kenapa fenomena pemalsuan ijazah cenderung terus terjadi ? 
MS:  Kita melihat, dalam hal ini terjadi hukum pasar. Ada permintaan, ada  pemasok. Sejumlah jabatan memerlukankualifikasi pendidikan formal untuk  dapat menduduki jabatan tertentu, misalnya kalau mau menjadi anggota  legislatif minimal harus tamat SMA, menjadi tenaga pendidik sesuai  dengan undang-undang guru dan dosen minimal harus memiliki ijazah S-1.  Sedangkan orang kadang-kadang sudah kadung duduk dalam suatu jabatan,  sementara kualifikasi formal ini belum mereka miliki. Sedangkan untuk  meraih gelar S-1, mereka terkadang tidak ada waktu sehingga mereka  mencari jalan pintas untuk memiliki ijazah.
Persoalannya sekarang, ada beberapa perguruan tinggi atau oknum di perguruan tinggi – yang umumnya perguruan tinggi swasta  diindikasikan dari dulu melakukan praktik tidak benar. Saya kira, perguruan tinggi negeri jarang mengeluarkan ijazah palsu karena proses penerbitan ijazah sangat ketat.
Di  sisi lain, kita juga melihat sejumlah orang Indonesia seperti dikatakan  Rektor IPB (waktu itu) Andi Hakim Nasution, ada fenomena di Indonesia  yang sangat mengistimewakan gelar. Ada yang gila gelar. Gelar gila ini dibeli orang untuk mengukuhkan status sosialnya. Ini makin berkembang lagi, katakan misalnya
seorang pengamat atau publik figur yang sering disebut-sebut media massa, kalau
tidak ada embel-embel gelar, pendapatnya dianggap orang kurang bermutu. Sejumlah  orang pun mencari-cari gelar-gelar gila itu. Fenomona di Indonesia juga  gelar kesarjanaan dari dulu memang seperti prestise, sehingga upaya  untuk mencari gelar cenderung lebih dominan ketimbang mencari kompetensi.
Meskipun  sekarang orientasi perguruan tinggi sudah mencari kompetensi dengan  adanya Undang Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003, bahwa semua lulusan  berbasis kepada kemampuan atau kompetensi. Sayangnya, dalam praktiknya,  masih condong kepada mengejar gelar daripada melangkahkan diri supaya menjadi seorang profesional.
Fenomena  seperti inilah maka beberapa perguruan tinggi atau oknum di perguruan  tinggi melihat ada “pasar” untuk melakukan praktik seperti ini, dengan  memberi gelar. Ini dikhawatirkan justru makin berkembang, kalau  sebelumnya lebih cenderung untuk gelar S-1, lama-kelamaan bisa S-2,  bahkan S-3. Sekarang ada orang yang justru tidak malu menggunakan gelar  palsu seperti itu.
IHN:  Soal profesionalisme, kalau orang-orang seperti ini ditempatkan pada  posisi strategis, barangkali akan membuahkan kinerja yang sangat tidak  profesional.
MS:Begini.  Profesionalisme seseorang kadang-kadang memang tidak hanya diperoleh  melalui bangku perguruan tinggi. Apalagi ada hasil riset dan pendapat  para ahli yang mengatakan, seseorang itu kalau sudah lepas dari  perguruan tinggi, 82 persen berkembang di luar karena dirinya sendiri.  Jadi, perguruan tinggi member kontribusi kompetensi hanya 18 persen.
Karena  itu, banyak orang menjadi profesional karena interaksi di luar.  Sayangnya, banyak orang profesional, cakap memimpin suatu instansi, tapi  karena persyaratan untuk memimpin itu – katakanlah misalnya untuk  menjadi kepala dinas harus memiliki kualifikasi S-1  kemudian  melirik untuk mendapatkan gelar. Jadi, sekarang, tidak bisa juga diukur  S-1, S-2 atau S-3, misalnya, lebih professional dari yang tidak S-2,  S-3. 
IHN:  Ada perguruan tinggi yang merasa menjadi korban karena lembaga  pendidikan mereka dicatut oleh sindikat dalam prraktik jual-beli ijazah,  karena mereka merasa tidak pernah mengeluarkan ijazah seperti itu.
MS:Kalau begitu, ini memudahkan dalam proses penyidikan. Dalam Undang Undang Sisdiknas, kita lihat, apabila ada seseorang yang  menggunakan gelar atau ijazah palsu, ada orang keberatan dan diyakini  ijazah itu palsu, ya lapor saja ke polisi. Kalau perguruan tinggi itu  merasa tidak pernah mengeluarkan ijazah seperti itu kepada orang-orang  tertentu, perguruan tinggi tersebut tinggal membuat laporan pengaduan ke  polisi, “Bahwa si Anu itu mencatut perguruan tinggi kami, berarti  gelarnya palsu.” Itu sudah ada mekanismenya dalam Undang Undang  Sisdiknas.
IHN: Ke depan, menurut Anda, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah; termasuk oleh Koordinator Perguruan Tinggi Swasta?
MS: Fenomena  gelar atau ijazah palsu ini umumnya ada di perguruan tinggi swasta.  Saya melihat, jual-beli ijazah ini akan terus berlangsung karena orang  butuh itu antara lain tuntutan persyaratan formal yang telah ditetapkan.  Sekarang, memang untuk menjadi calon legislatif dan calon bupati atau  calon walikota, cukup tamat SMA.
Karena  itu, banyak juga orang yang memalsukan ijazah SMA, atau orang yang  mengambil Paket C – yang setara dengan ijazah SMA – yang tidak mengikuti  prosedur ujian tapi memperoleh ijazah.
Ke  depan, saya kira, perguruan tinggi swasta memang perlu lebih diawasi  oleh Kopertis. Apalagi sekarang sudah ada standar bagaimana jam  perkuliahan, bagaimana administrasi mahasiswa, bahkan sudah ada  pendaftaran mahasiswa secara online. 
Pengawasan  lebih mudah dilakukan kalau semua perguruan tinggi melakukan  pendaftaran berbasis online. Jadi, bisa dilacak, seseorang itu pernah  terdaftar di sebuah perguruan tinggi atau tidak.
Seperti  saya, misalnya, Doktor saya dari Universitas Negeri Jakarta, bisa  dilacak di sana apakah betul saya kuliah di situ, kemudian apa judul  desertasi saya. Jadi kita berharap, perguruan tinggi swasta juga  menerapkan hal seperti ini, yang akan memudahkan untuk mengecek  seseorang pernah kuliah atau tidak di perguruan tinggi itu.
IHN:  Dikabarkan ada yang masuk PNS memakai ijazah palsu. Kalau ini benar,  berarti perekrutan PNS juga kurang pengawasan dari penggunaan ijazah  palsu?
MS:  Beberapa lembaga tidak melacak apakah ijazah itu palsu atau tidak, yang  penting bahwa perekrutan itu kan ada persyaratan formalnya. Jadi,  panitia hanya melihat itu dan tidak berhak melacak apakah ijazah itu  palsu atau tidak. Itu bukan tugas mereka.
Jadi,  kita tidak bias menyalahkan panitia penerimaan CPNS. Yang kita salahkan  tetap orang yang menggunakan ijazah palsu itu dan perguruan tinggi atau  oknum di perguruan tinggi yang mengeluarkan ijazah palsu tersebut.
Kalau  fenomena ijazah palsu ini makin banyak terungkap, seharusnya Kopertis  lebih banyak bertindak. Lebih pro-aktif. Misalnya, karena perguruan  tinggi ini terbukti banyak mengeluarkan ijazah palsu, bisa dilikuidasi,  atau bisa diumumkan kepada masyarakat, atau diinformasikan kepada  pemerintah dan swasta kalau alumni perguruan tinggi tertentu yang  mendaftar ke satu instansi, mohon dikonfirmasi ke Kopertis apakah ijazah  yang bersangkutan asli atau palsu. Ini diharapkan akan memberi efek  jera.
Ternyata ijazah jauh lebih penting daripada ilmu pengetahuan.
Ternyata ijazah jauh lebih penting daripada ilmu pengetahuan.
Sumber : Waspada
Terima Kasih
 


























6 Komentar:
dasar indonesia..
gmna amerika tidak menerima kita disana jangankan teroris orang biasapun tidak boleh kesana,mungkin dikarnakan bahwa
by Bin Hakim
Diindonesia apa pun bisa dibeli ..
Jangankan ijazah , kedudukan aja bisa dibeli :P
by Bin Hakim
itu la negara indonesia ,gimana tidak di cap jelek ma negara laen apa aja di palsu,kan
by Bin Hakim
"Ternyata ijazah jauh lebih penting daripada ilmu pengetahuan."
yang bikin jadi kayak gini siapa?rakyat?apa pemerintah?klo aja pemerintah ngadain ujian kelulusan D3 tanpa embel2 yang ribet pasti ga ada urusan jual beli ijasah, daripada dicekal orang2 pinter yang tertahan karena ijasah, kenapa ga dibina aja, toh mereka udah ada sedikit kepintaran, tinggal dibina dan difungsikan sesuai keahliannya pasti berguna bgt buat pemerintah
by Bin Hakim
mantep bang
by Bin Hakim
Promo Spesial Dari Zeusbola
Berupa Hadiah Iphone 13!
Segera Daftarkan Dan Dapatkan Hadiah Iphone!
Buruan! Deposit Murah!
INFO SELANJUTNYA SEGERA HUBUNGI KAMI DI :
WHATSAPP :+62 822-7710-4607
by Bin Hakim
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Komentar Anda !!!!!