
Judul: Timor Timur, Satu Menit Terakhir
Penulis: CM Rien Kuntari
Penerbit: Mizan Pustaka, Bandung
Cetakan: November 2008
Tebal: 483 halaman
Peristiwa  lepasnya Timor Timur (Timtim) dari Indonesia diwarnai berbagai konflik,  baik secara politik maupun sosial. Bahkan konflik tersebut berujung pada  pertumpahan darah. Hal yang mengusik keingintahuan adalah, bagaimana  seorang juru warta harus bersikap di tengah konflik tersebut.
Itulah  yang dicoba disampaikan buku ini. Penulisnya, CM Rien Kuntari, tidak  hanya mengisahkan berbagai peristiwa yang terjadi di Timtim baik  menjelang maupun sesudah jajak pendapat, tetapi juga bagaimana ia  sebagai seorang wartawan harus bertindak dan bersikap di tengah  pihak-pihak yang sedang bertikai. 
Dalam buku ini,  Rien menyampaikan banyak pengalamannya selama melakukan tugas  jurnalistiknya yang mungkin tidak pernah ia tulis dalam pemberita. Salah  satu alasannya adalah untuk meredam konflik ataupun gesekan sosial yang  semakin melebar. Sebab, seperti dikisahkan Rien, tulisan dalam media  dapat mengubah sikap kelompok-kelompok tertentu di Timtim dalam sekejap.  Kemarahan kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan dapat terpicu  setelah mengetahui tulisan yang dimuat di dalam media.
Bahkan  tidak jarang tulisan tersebut dapat memunculkan tuduhan dan "cap"  tertentu pada sebuah media, misalnya media yang mendukung integrasi,  atau media yang justru mendukung kemerdekaan Timtim. Bahkan, karena hal  itu, acap kali wartawan dari media yang bersangkutan menjadi sasaran  kemarahan kelompok-kelompok yang bertikai.
Rien misalnya pernah  menjadi target kemarahan pasukan milisi. Kelanjutannya, muncul skenario  untuk menculik dan "menghabisi" wartawan Kompas (penulis adalah wartawan  harian Kompas) tersebut. Menurut informasi yang ia dapat, rencana  tersebut dikeluarkan dalam rapat tertutup antara pihak pro-otonomi yang  melibatkan pasukan Aitarak dan FPDK (Forum Persatuan Demokrasi dan  Keadilan).
Di mata kelompok pro-integrasi Rien  merupakan wartawan yang telah melakukan dosa yang tidak terampuni, yakni  memberikan berita yang seimbang dalam pemberitaan untuk pihak  pro-kemerdekaan. Bahkan kepiawaian Rien dalam menjalin hubungan  pihak-pihak pro-kemerdekaan telah memunculkan tuduhan dirinya bukan  seorang nasionalis. Hal ini menguat ketika Kompas menurunkan laporan  tentang Falintil dan wawancara khusus dengan Taur Matan Ruak dalam tiga  halaman penuh pada HUT Falintil ke-24.
Padahal Rien  sendiri hanya melakukan profesinya sebagai wartawan secara profesional,  yakni tidak memihak pada salah satu kubu yang sedang berseberangan  secara kepentingan. Namun di lapangan, seperti di wilayah konflik,  kenetralan ini dapat diartikan lain. Dengan begitu, seorang wartawan  memang dituntut lebih peka lagi dalam melakukan kegiatannya di wilayah  tersebut.
Teror dan intimidasi terhadap wartawan memang hal yang  biasa terjadi di Timtim pada masa sekitar jajak pendapat. Salah satu  korban yang dicatat oleh Rien adalah wartawan Financial Times biro  Jakarta, Robert Thoenes. Menurut Rien, wartawan itu tewas terbunuh  dengan sayatan di seluruh bibir dan sebagian wajahnya. 
Hal  lain yang menarik dari buku ini adalah keterusterangan Rien dalam  mengungkapkan fakta yang ditemuinya di Timtim, misalnya saja ia  mengisahkan bagaimana kekejaman kaum milisi menghabisi rombongan  misonaris yang hendak pergi ke Los Palos dari Baucau. Peristiwa ini  terjadi sekitar bulan September 1999. Pada saat itu, sembilan orang  tewas dengan menyedihkan, di antara para misionaris terdapat seorang  sopir, dua orang pemudi, dan satu orang wartawan.
Rien  sendiri mengakui, ketika dirinya menjadi target pembunuhan kaum milisi,  ia mengalami ketakutan yang luar biasa. Sebagai manusia biasa, ia juga  merasakan kengerian ketika warga Timtim yang sebelumnya tampak ramah,  tiba-tiba berbalik menjadi tidak bersahabat dan bahkan menampakkan sikap  permusuhan. Bahkan sebelumnya ia juga sempat dihadang moncong pistol  yang dihadapkan ke arah kepalanya dari jarak dekat.
Namun,  nalurinya sebagai wartawan tidak menyurutkan ia untuk kembali ke  Timtim. Ia seperti merasa "gatal" jika hanya memantau perkembangan  situasi di Timtim dari Jakarta. Ia merasa harus langsung berada di  Timtim untuk melihat apa saja yang sebenarnya terjadi di wilayah itu,  ketimbang mengutip dari berbagai media asing dengan berbagai versi.
Itu  sebabnya, ketika INTERFET (International Force for East Timor) yang  dikomandani Australia memintanya untuk kembali ke Timtim pada  pertengahan Oktober 1999, ia langsung menyambutnya. Apalagi hal ini  didukung oleh atasan Rien di harian tempatnya bekerja.
Mengenai hal  ini, Rien menuliskan, bahwa pada akhirnya INTERFET membutuhkan media  juga untuk mengimbangi pemberitaan negatif mengenai Australia. Padahal  sebelumnya wartawan Indonesia betul-betul mengalami perlakuan  diskriminasi dari pasukan tersebut. 
Memang, persoalan  Timtim tidak lepas dari persoalan hubungan antara Australia dan  Indonesia. Sejak pasukan INTERFET tiba di Indonesia, hubungan kedua  negara ini selalu memanas. Hal ini tidak lepas dari sikap Australia yang  arogan terhadap Indonesia. Hal ini bahkan menyulut protes dari  Indonesia.
Salah satu kasus yang memicu ketegangan  antara Indonesia dan Australia adalah operasi rahasia yang dilakukan  oleh Australia di wilayah Timtim. Meskipun hal ini diprotes oleh pihak  TNI, namun pihak Australia tetap tidak ambil pusing. Pada perkembangan  berikutnya, aksi Australia ini mengundang kemarahan sejumlah negara,  termasuk Amerika. Kemarahan Amerika tersebut dipicu oleh keengganan  Australia untuk membagi hasil dari operasi rahasia tersebut.
Hal  lain yang menarik dalam buku ini adalah bagaimana sebagai seorang  wartawan Rien memiliki tanggung jawab yang tidak sekadar menuliskan  berita secara netral tetapi berpikir dengan spektrum ataupun kepentingan  yang luas. Misalnya saja ketika ia menghadiri homili Uskup Mgr Filipe  Ximenes Belo, SDB pada misa penutupan bulan Oktober, atau bulan devosi  kepada Bunda Maria.
Dalam khotbahnya ketika itu, uskup  justru menjelek-jelekkan Indonesia. Bahkan secara terang-terangan ia  menyerang kaum milisi dengan menyatakan kaum milisi harus "mencuci  tangan yang berlumuran darah", dan menebus dosa yang telah diperbuatnya  secara setimpal.
Khotbah tersebut disampaikan secara berapi-api  seakan tidak satupun kebaikan di pihak Indonesia. Padahal ketika  kekacauan di Timtim memuncak justru dialah yang lari meninggalkan  umatnya di Timtim, dan misionaris Indonesialah yang tetap berada di  Timtim.
Isi khotbah tersebut membuat Rien  bertanya-tanya, apakah benar ia tengah mendengar khotbah dari seorang  penerima Nobel Perdamaian? Jika menuruti keinginan hati, mungkin Rien  ingin menuliskan apa yang didengarnya itu ke dalam berita. Namun pada  saat itu ia teringat kepada Xanana, Taur Matan Ruak, dan Falur Rate  Laec. Ketiga tokoh Timtim yang tidak pernah lepas dari senjata itu  justru selalu meniupkan angin perdamaian, rekonsiliasi dan perdamaian.
Akhirnya,  Rien memilih memihak kepada Xanana dan kawan-kawannya. Ketimbang  menuliskan berita yang berisi ucapan menyakitkan dari sang uskup yang  mungkin akan menyulut gesekan yang lebih luas, baik ia menuliskan berita  yang lebih menyejukkan setiap pihak. Sebab dengan begitu perdamaian di  Timtim akan lebih mudah terwujud.
Secara garis besar,  dalam buku ini dapat dilihat bagaimana seorang wartawan menjalankan  tugasnya. Wartawan tidak hanya dituntut untuk memiliki kepiawaian dalam  menjalankan profesinya, serta keberanian dalam menghadapi situasi yang  paling ekstrem, tetapi juga mempunyai hati untuk menentukan keutamaan. Virtus  in medio, keutamaan itu ada di tengah.
Sumber : Ulas Buku 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Komentar Anda !!!!!