Tan Malaka - Dia Yang Mahir dalam Revolusi
Hatinya terlalu teguh untuk berkompromi. Maka ia diburu polisi rahasia  Belanda, Inggris, Amerika, dan Jepang di 11 negara demi cita-cita utama:  kemerdekaan Indonesia.
Ia, Tan Malaka, orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia.  Muhammad Yamin menjulukinya "Bapak Republik Indonesia". Soekarno  menyebutnya "seorang yang mahir dalam revolusi". Tapi hidupnya berakhir  tragis di ujung senapan tentara republik yang didirikannya.
Ia seorang yang telah melukis revolusi Indonesia dengan bergelora.  Namanya Tan Malaka, atau Ibrahim Datuk Tan Malaka, dan kini mungkin  dua-tiga generasi melupakan sosoknya yang lengkap ini: kaya gagasan  filosofis, tapi juga lincah berorganisasi.
ORDE Baru telah melabur hitam peran sejarahnya. Tapi, harus diakui, di  mata sebagian anak muda, Tan mempunyai daya tarik yang tak tertahankan.  Sewaktu Soeharto berkuasa, menggali pemikiran serta langkah-langkah  politik Tan sama seperti membaca novel-novel Pramoedya Ananta Toer.  Buku-bukunya disebarluaskan lewat jaringan klandestin. Diskusi yang  membahas alam pikirannya dilangsungkan secara berbisik. Meski dalam  perjalanan hidupnya Tan akhirnya berseberangan dengan Partai Komunis  Indonesia (PKI), sosoknya sering kali dihubungkan dengan PKI: musuh  abadi Orde Baru.
Perlakuan serupa menimpa Tan di masa Soekarno berkuasa. Soekarno,  melalui kabinet Sjahrir, memenjarakan Tan selama dua setengah tahun,  tanpa pengadilan. Perseteruannya dengan para pemimpin pucuk PKI membuat  ia terlempar dari lingkaran kekuasaan. Ketika PKI akrab dengan  kekuasaan, Bung Karno memilih Musso—orang yang telah bersumpah  menggantung Tan karena pertikaian internal partai—ketimbang Tan.  Sedangkan D.N. Aidit memburu testamen politik Soekarno kepada Tan. Surat  wasiat itu berisi penyerahan kekuasaan kepemimpinan kepada empat  nama—salah satunya Tan—apabila Soekarno dan Hatta mati atau ditangkap.  Akhirnya Soekarno sendiri membakar testamen tersebut. Testamen itu  berbunyi: "...jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan  pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan  revolusioner, Tan Malaka."
Politik memang kemudian menenggelamkannya. Di Bukittinggi, di kampung  halamannya, nama Tan cuma didengar sayup-sayup. Ketika Harry Albert  Poeze, sejarawan Belanda yang meneliti Tan sejak 36 tahun lalu,  mendatangi Sekolah Menengah Atas 2 Bukittinggi, Februari lalu, guru-guru  sekolah itu terkejut. Sebagian guru tak tahu Tan pernah mengenyam  pendidikan di sekolah yang dulu bernama Kweekschool (sekolah guru) itu  pada 1907-1913. Sebagian lain justru tahu dari murid yang rajin  berselancar di Internet. Mereka masih tak yakin, sampai kemudian Poeze  datang. Poeze pun menemukan prasasti Engku Nawawi Sutan Makmur, guru  Tan, tersembunyi di balik lemari sekolah.
Di sepanjang hidupnya, Tan telah menempuh pelbagai royan: dari masa  akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II. Di  kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia, lelaki kelahiran Pandan Gadang,  Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 ini merupakan tokoh pertama yang  menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de  Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih  dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia  Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928),  dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).
Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah  pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia.  Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung  Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa  Actie. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub Debat Bandung. Salah satu  tuduhan yang memberatkan Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung pada  1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh jika isi buku  itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia  Menggugat.
W.R. Supratman pun telah membaca habis Massa Actie. Ia memasukkan  kalimat "Indonesia tanah tumpah darahku" ke dalam lagu Indonesia Raya  setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk  "Khayal Seorang Revolusioner". Di situ Tan antara lain menulis, "Di muka  barisan laskar, itulah tempatmu berdiri.... Kewajiban seorang yang tahu  kewajiban putra tumpah darahnya."
Di seputar Proklamasi, Tan meno-rehkan perannya yang penting. Ia  menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini  kawasan Monas), 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukkan  dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan yang waktu itu  belum bergema keras dan "masih sebatas catatan di atas kertas". Tan  menulis aksi itu "uji kekuatan untuk memisahkan kawan dan lawan".  Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan gencar.
Kehadiran Tan di Lapangan Ikada menjadi cerita menarik tersendiri. Poeze  bertahun-tahun mencari bukti kehadiran Tan itu. Sahabat-sahabat Tan,  seperti Sayuti Melik, bekas Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, dan  mantan Wakil Presiden Adam Malik, telah memberikan kesaksian. Tapi  kesaksian itu harus didukung bukti visual. Dokumen foto peristiwa itu  tak banyak. Memang ada rekaman film dari Berita Film Indonesia. Namun  mencari seorang Tan di tengah kerumunan sekitar 200 ribu orang dari  pelbagai daerah bukan perkara mudah.
Poeze mengambil jalan berputar. Ia menghimpun semua ciri khas Tan dengan  mencari dokumen di delapan dari 11 negara yang pernah didatangi Tan.  Tan, misalnya, selalu memakai topi perkebunan sejak melarikan diri di  Filipina (1925-1927). Ia cuma membawa paling banyak dua setel pakaian.  Dan sejak keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, pada  1940-an, ia selalu memakai celana selutut. Ia juga selalu duduk  menghadap jendela setiap kali berkunjung ke sebuah rumah. Ini untuk  mengantisipasi jika polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, atau  Amerika tiba-tiba datang menggerebek. Ia memiliki 23 nama palsu dan  telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu  kilometer—dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin.
Satu lagi bukti yang mesti dicari: berapa tinggi Tan sebenarnya? Di buku  Dari Penjara ke Penjara II, Tan bercerita ia dipotret setelah cukur  rambut dalam tahanan di Hong Kong. "Sekonyong-konyong tiga orang  memegang kuat tangan saya dan memegang jempol saya buat diambil capnya.  Semua dilakukan serobotan," ucap Tan. Dari buku ini Poeze pun mencari  dokumen tinggi Tan dari arsip polisi Inggris yang menahan Tan di Hong  Kong. Eureka! Tinggi Tan ternyata 165 sentimeter, lebih pendek daripada  Soekarno (172 sentimeter). Dari ciri-ciri itu, Poeze menemukan foto Tan  yang berjalan berdampingan dengan Soekarno. Tan terbukti berada di  lapangan itu dan menggerakkan pemuda.
Tan tak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa  dengan Soekarno-Hatta yang memilih berunding dan kemudian ditangkap  Belanda. Menurut Poeze, Tan berkukuh, sebagai pemimpin revolusi Soekarno  semestinya mengedepankan perlawanan gerilya ketimbang menyerah.  Baginya, perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan  kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan Sekutu. Tanpa itu,  nonsens.
Sebelum melawan Soekarno, Tan pernah melawan arus dalam kongres  Komunisme Internasional di Moskow pada 1922. Ia mengungkapkan gerakan  komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir kolonialisme jika tak  bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Ia juga menolak rencana kelompok  Prambanan menggelar pemberontakan PKI 1926/1927. Revolusi, kata Tan, tak  dirancang berdasarkan logistik belaka, apalagi dengan bantuan dari luar  seperti Rusia, tapi pada kekuatan massa. Saat itu otot revolusi belum  terbangun baik. Postur kekuatan komunis masih ringkih. "Revolusi  bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak," tulis Tan. Singkat kata,  rencana pemberontakan itu tak matang.
Penolakan ini tak urung membuat Tan disingkirkan para pemimpin partai.  Tapi, bagi Tan, partai bukanlah segala-galanya. Jauh lebih penting dari  itu: kemerdekaan nasional Indonesia. Dari sini kita bisa membaca watak  dan orientasi penulis Madilog ini. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus  nasionalis. Ia seorang komunis, tapi kata Tan, "Di depan Tuhan saya  seorang muslim" (siapa sangka ia hafal Al-Quran sewaktu muda). Perhatian  utamanya adalah menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi  Indonesia.
Berpuluh tahun namanya absen dari buku-buku sejarah; dua-tiga generasi  di antara kita mungkin hanya mengenal samar-samar tokoh ini. Dan kini,  ketika negeri ini genap 63 tahun, majalah ini mencoba melawan lupa yang  lahir dari aneka keputusan politik itu, dan mencoba mengungkai kembali  riwayat kemahiran orang revolusioner ini. Sebagaimana kita mengingat  bapak-bapak bangsa yang lain: Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Mohammad  Natsir, dan lainnya.
Kisruh Ahli Waris Obor Revolusi
Soekarno pernah memberikan testamen politik dan naskah proklamasi kepada  Tan Malaka. Testamen itu belakangan dibakarnya.
SAYUTI Melik mengemban tugas penting. Tiga pekan setelah proklamasi, ia  diminta Soekarno mencari Tan Malaka. Bung Karno mendengar desas-desus  tokoh pergerakan itu ada di Jakarta.
Untungnya, Sayuti tahu di mana mencari Tan. Beberapa hari sebelumnya,  Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo mempertemukannya dengan penulis buku  Naar de Republiek Indonesia itu.
Pertemuan pun diatur. Soekarno meminta Soeharto, dokter pribadinya,  menyediakan ruangan. Tapi ia merahasiakan siapa tamu yang akan datang.  Dengan bersepeda, Sayuti menjemput Tan. Keduanya kemudian menuju rumah  Soeharto?sekarang Apotek Titimurni?di Jalan Kramat Raya.
Kepada Soeharto, tokoh yang hidup 20 tahun dalam pelarian itu mengaku  bernama Abdulradjak. Soeharto lalu membawa "Abdulradjak" ke kamar  belakang. Di sana Soekarno sudah menunggu. Sayuti ikut masuk, Soeharto  menunggu di luar. Semua lampu di rumah itu dimatikan. Pertemuan dua  tokoh dalam gelap itu terjadi pada malam Lebaran, 9 September 1945.
Soekarno membuka pembicaraan. Ia bertanya tentang Massa Actie?buku yang  ditulis Tan pada 1926. Kemudian keduanya bicara tentang nasib revolusi  Indonesia. Dalam pertemuan dua jam itu, Tan mendominasi pembicaraan,  sementara Soekarno lebih banyak diam. "Tan lebih berpengalaman dalam  perjuangan," kata Sayuti Melik. Kata-kata Tan tentang revolusi, kata  Sayuti, belakangan hari sering dikutip Soekarno.
Ada pernyataan Tan yang sangat mengusik perhatian Bung Karno. Tan  mengatakan, Belanda, dengan menumpang Sekutu, tidak lama lagi akan  datang. Tan yakin, Jakarta akan jadi medan pertempuran. Itu sebabnya ia  mengusulkan pemerintahan harus dipindahkan ke pedalaman.
Khawatir akan kemungkinan itu, Soekarno pun berkata, "Jika nanti terjadi  sesuatu pada diri kami sehingga tidak dapat memimpin revolusi, saya  harap Saudara yang melanjutkan." Sebelum menutup pertemuan, ia memberi  Tan sejumlah uang. Kesaksian Sayuti itu ditulis dalam kolom Sekitar  Testamen untuk Tan Malaka, dimuat di harian Sinar Harapan, September  1979.
Beberapa hari kemudian, Tan dan Soekarno bertemu lagi. Kali ini di rumah  dokter Mawardi di Jalan Mampang. Mawardi adalah pemimpin Barisan  Pelopor di masa pendudukan Jepang.
Seperti biasa, Sayuti ikut dalam pertemuan, tapi hanya boleh  mendengarkan. Mereka bicara lagi tentang perjuangan kebangsaan. Di ujung  percakapan, Soekarno berjanji akan menunjuk Tan sebagai penerus obor  kemerdekaan.
Tan tidak bereaksi sepatah kata pun mengenai testamen itu. Dalam  memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, ia menganggap usul itu sebatas  kehormatan dan tanda kepercayaan. "Saya sudah cukup senang bertemu  Presiden Republik Indonesia, republik yang sudah sekian lama saya  idamkan," katanya.
NIAT mengeluarkan testamen diucapkan Soekarno dalam rapat kabinet pada  pekan ketiga September 1945. Bila Sekutu menawannya, ia akan menyerahkan  pimpinan revolusi kepada salah seorang yang mahir dalam perjuangan.  Siapa orang itu, masih ia rahasiakan.
Ahmad Soebardjo tahu yang dimaksud Bung Karno tak lain adalah Tan  Malaka. Ia tahu karena Tan pernah membicarakannya. Namun kelanjutan  pembicaraan ihwal testamen baru terlaksana setelah Inggris akan  mendarat. Juga ada selentingan, Sekutu akan menangkap Soekarno karena  dianggap berkolaborasi dengan Jepang.
Situasi itu mendorong Soekarno bertemu dengan Tan Malaka, Iwa  Koesoemasoemantri, dan Gatot Taroenamihardjo, di rumah Ahmad Soebardjo.  Iwa dan Gatot saat itu Menteri Kesehatan dan Jaksa Agung. Pada 30  September, mereka sepakat menunjuk Tan sebagai ahli waris revolusi bila  terjadi sesuatu pada Soekarno-Hatta.
Kemudian Soekarno pergi ke rumah Hatta. Setelah menceritakan pertemuan  itu, Bung Hatta memberikan jawaban: "Kenapa tidak bicara dulu kepada  saya? Engkau mestinya kenal baik siapa itu Tan Malaka."
Hatta menolak hasil pertemuan dan mengusulkan jalan keluar. Tongkat  revolusi akan diteruskan kepada pemimpin dari empat kutub. Tan Malaka  mewakili aliran paling kiri, Sutan Sjahrir dari kelompok kiri-tengah,  Wongsonegoro wakil kalangan kanan dan feodal, serta Soekiman  representasi kelompok Islam.
Soekarno puas dengan jalan tengah ini. Ia menelepon Soebardjo mengajak  bertemu. Soebardjo, bersama Tan dan Iwa, menyambut Soekarno-Hatta  besoknya. Di rumah Soebardjo, Hatta memaparkan pendapatnya.
Ia mengatakan bahwa keberadaan Tan di kalangan kiri bisa menyulut  kontroversi karena Partai Komunis Indonesia tidak menyukainya. Hatta  juga mengusulkan agar Tan melakukan perjalanan keliling Jawa. Selain  memperkenalkan diri pada rakyat, juga untuk mengukur seberapa besar  pengaruhnya. Usul Hatta disetujui.
Dalam pertemuan 1 Oktober itu, mereka juga setuju mengganti Soekiman  dengan Iwa. Alasannya, Iwa sahabat Soekiman dan dekat dengan kelompok  Islam. Soekarno lalu meminta Tan menyusun kata-kata testamen. Setelah  semuanya setuju, naskah diketik Soebardjo dan dibuat rangkap tiga.  Soekarno-Hatta lalu menandatanganinya. Soebardjo ditugasi memberikan  teks itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro.
Belakangan terungkap, Soebardjo tidak pernah menyampaikan salinan teks  itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro. Keduanya baru tahu setelah Hatta  memberi kabar. Wakil presiden pertama itu menduga Soebardjo dan kubunya  kecewa, wasiat batal diberikan kepada Tan seorang. Tapi, dalam bukunya  Kesadaran Nasional, Soebardjo berdalih gonjang-ganjing revolusi  menghambat penyampaian teks itu.
TAN memasukkan testamen ke tasnya. Ia lalu pergi keliling Jawa. Menurut  Hadidjojo Nitimihardjo, putra Maruto Nitimihardjo?salah seorang aktivis  Menteng 31, markas perjuangan pemuda setelah Proklamasi dan kini Gedung  Joang 45 di kawasan Cikini, Jakarta? amplop yang dibawa Tan tak hanya  berisi wasiat politik, tapi juga teks proklamasi yang diketik Sayuti  Melik. Bung Karno, menurut Hadidjojo, memberinya satu paket.
Pada saat di Surabaya, Tan dikawal Laskar Minyak pimpinan Suryono. Atas  usul Djohan Syahruhzah?belakangan menjadi Sekretaris Jenderal Partai  Sosialis Indonesia?Tan kemudian dikawal Des Alwi selama sepekan. Des  waktu itu bergabung dengan laskar Pemuda Republik Indonesia dan sedang  menjalankan tugas intelijen melancarkan perang informasi terhadap  Sekutu.
Mereka menginap di Gubeng pada 9 November. "Malam itu saya sempat  memijatnya," kata Des, saat itu 18 tahun. Tan, yang mengaku bernama  Hussein, lalu berkisah tentang pertempuran Shanghai, penyerangan tentara  Cina terhadap Jepang pada 1932.
Pengetahuan Hussein membuat Des kagum. Anak angkat Sjahrir itu kemudian  membawa Tan ke Sidoarjo. Di sana Des baru tahu, pria yang dikawalnya  adalah Tan Malaka. Dari Sidoarjo, Tan berkeliling Jawa ditemani Djohan.  "Saat itu hubungan Tan dengan kubu Sjahrir belum retak," kata Hadidjojo.
Tapi pertalian itu cuma sebentar. Belakangan hubungan kedua kubu itu  rekah akibat Tan menentang politik Sjahrir. Lewat Persatuan  Perjuangan?kumpulan 141 organisasi politik?Tan menentang kebijakan  diplomasi yang dijalankan triumvirat Soekarno-Hatta-Sjahrir.
Keteguhan Tan yang gencar menentang perundingan berujung penjara. Ia  bersama Sukarni, Chaerul Saleh, Muhammad Yamin, dan Gatot Abikusno  ditangkap di Madiun pada 17 Maret 1946. Uniknya, berita pencidukan sudah  menyebar di radio satu hari sebelumnya. Mereka dituduh hendak melakukan  kudeta. Mereka ditahan terpisah, dipindah dari satu penjara ke penjara  lain.
Namun Yamin dalam buku Sapta Darma menepis latar belakang itu. Ia  mensinyalir, penahanan itu atas desakan Sekutu kepada Perdana Menteri  Sjahrir agar perundingan berlangsung lancar. Mereka "diamankan" sebelum  delegasi Indonesia bertolak ke Belanda. Dugaan Yamin belakangan  terbukti. Dalam persidangan Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin  mengatakan Tan dan kelompoknya ditangkap karena sering melancarkan  agitasi yang mengacaukan perundingan.
Sewaktu Tan di dalam sel inilah menyebar testamen politik palsu. Isinya  menyatakan bahwa Soekarno-Hatta menyerahkan pimpinan revolusi kepada Tan  Malaka seorang. Hatta menuding Chaerul Saleh otak dari kebohongan itu.  Gara-gara itu, Hatta berniat mencabut keputusan pemberian testamen, tapi  batal.
Dari penjara, Tan berhasil menyelundupkan amplop berisi testamen asli  dan naskah proklamasi lewat kurir. "Amplop itu diterima ayah saya," kata  Hadidjojo. Maruto saat itu duduk di Badan Pekerja Komite Nasional  Indonesia Pusat di Yogyakarta.
Setelah dua tahun ia ditahan, kejaksaan baru menjatuhkan dakwaan. Tapi  bukan atas tuduhan kudeta, melainkan menggerakkan barisan oposisi  ilegal. Tan dan Sukarni dibebaskan pada September 1948 dari penjara  Magelang, Jawa Tengah.
Setelah Tan bebas, Maruto mengembalikan testamen dan naskah proklamasi  kepadanya. Ia juga mengatur pertemuan antara Tan dan Jenderal Soedirman  di Yogyakarta. Kepada Pak Dirman, Tan mengatakan akan bergerilya ke Jawa  Timur sekitar November 1948. Soedirman lalu memberinya surat pengantar  dan satu regu pengawal.
Surat dari Soedirman itu diserahkan ke Panglima Divisi Jawa Timur  Jenderal Sungkono. Oleh Sungkono, Tan dianjurkan bergerak ke Kepanjen,  Malang Selatan. Tapi ia memutuskan pergi ke Kediri. Di sinilah, kata  sejarawan Belanda Harry Albert Poeze, Tan dieksekusi pada 21 Februari  1949.
Sejak itu kasak-kasuk ihwal testamen meredup. Baru pada Mei 1972,  polemik ahli waris revolusi mencuat di media massa. Moekhardi, mengutip  buku George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia  (1952), mengemukakan bahwa perancangan testamen itu taktik Tan Malaka  merebut kekuasaan. Satu bulan kemudian, Sayuti menolak pendapat Kahin.  Menurut dia, pertemuan dan pembuatan testamen atas prakarsa Soekarno.
Pekan berikutnya, giliran Soebagijo I.N.?atas hasil wawancara dengan  Hatta?menulis, naskah testamen sudah diberikan Tan tapi belum  ditandatangani. Soekarno akan memarafnya bila Bung Hatta setuju.  Sedangkan Hatta menilai, sosok Tan di mata rakyat tidak populer.  Buktinya, dalam perjalanan di Jawa, Tan beberapa kali hendak ditangkap.
Silang pendapat terus bermunculan. Perang pena di surat kabar reda  setelah S.K. Trimurti?istri Sayuti?menulis surat pembaca di harian Sinar  Harapan, akhir Oktober 1979. Trimurti membuka rahasia, Syamsu Harya  Udaya menemuinya pada akhir 1964. Tokoh Murba, partai yang didirikan  Tan, itu mengaku menyimpan testamen dan naskah Proklamasi. Syamsu memang  sering menemani Tan sebelum sang tokoh tewas.
Daripada terus memercikkan perselisihan dan jadi rebutan, Trimurti  menganjurkan testamen dihancurkan. Keduanya lalu menemui Aidit, yang  dikenal dekat dengan Soekarno. Ketua Partai Komunis Indonesia itu  mengatur pertemuan.
Soekarno kemudian mengundang ketiganya. Di Istana Negara, Trimurti  menyerahkan seluruh naskah. Sementara teks proklamasi disimpannya, Bung  Karno merobek-robek testamen dan membakarnya. "Setelah itu kami pulang  dengan perasaan lega," kata Trimurti. Kisruh surat wasiat padam di  tengah bara api.
 Si Mata Nyalang di Balai Societeit
Tan Malaka membangun Persatuan Perjuangan di Purwokerto. Upaya  menyerang politik diplomasi pemerintah.
PURWOKERTO, kota kecil di selatan Jawa Tengah, menyala-nyala. Bintang  Merah, bendera Murba, berderet-deret setengah kilometer dari alun-alun  kota hingga Societeit, balai pertemuan merangkap gedung bioskop. Tiga  ratusan orang memenuhi bangunan itu. Mereka wakil dari 141 organisasi  politik, organisasi kemasyarakatan, dan laskar.
Nirwan, guru Sekolah Rakyat dan aktivis Murba, mengingat petang itu, 4  Januari 1946, tepat seratus hari pasukan Sekutu mendarat di Jawa. "Orang  berduyun-duyun ke kota ingin menyaksikan tamu yang datang," ujar pria  yang saat itu berusia 16 tersebut.
Rapat politik itu dihadiri antara lain para pemimpin pusat Partai  Sosialis, Partai Komunis Indonesia, Majelis Syuro Muslimin Indonesia  (Masyumi), Partai Buruh Indonesia, Hizbullah, Gerakan Pemuda Islam  Indonesia, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi, dan Persatuan Wanita  Indonesia. Rakyat jelata berjejal-jejal. Mereka antusias, karena  Panglima Besar Jenderal Soedirman juga di tengah-tengah mereka.
Nirwan menuturkan peserta rapat tiba dengan kereta api. Mereka yang tiba  dari Purbalingga, Wonosobo, Semarang, Yogyakarta, dan Solo turun di  Stasiun Timur. Adapun peserta dari Jawa Barat turun di Stasiun Raya,  kini stasiun di kota itu. Para kader Murba dari daerah dengan sukarela  menyumbang pelbagai barang: sekadar beras atau gula merah. Tak hanya  untuk konsumsi rapat, barang-barang yang terkumpul dijual untuk  keperluan lain.
Murba ketika itu belum menjadi partai, melainkan gerakan rakyat jelata.  Tan Malaka menggagasnya buat melawan kapitalisme dan penjajahan serta  untuk menggapai kesejahteraan. Purwokerto dianggap merupakan basis kuat,  karena itu Tan memilihnya untuk tempat kongres para pemimpin berbagai  organisasi.
Di kota ini, Tan bersahabat kental dengan Slamet Gandhiwijaya. Tokoh  Murba Purwokerto ini menjadi penyandang dana terbesar. Dari Slamet pula  Nirwan mengenal sosok Tan Malaka. "Slamet menjual sawah untuk biaya  kongres," kata Nirwan, yang menjadi Ketua Agitasi dan Propaganda setelah  Tan mendeklarasikan Partai Murba pada November 1948.
Slamet pernah dibuang ke Digul karena aktif di gerakan kiri menentang  Belanda. Saat pendudukan Jepang, pria kelahiran Madiun, Jawa Timur, 1901  ini dipercaya memimpin sejumlah proyek pembangunan, seperti jalan dan  waduk. Belum semua proyek rampung, Sekutu menjatuhkan bom atom di  Hiroshima dan Nagasaki.
Jepang kalah dan lari dari daerah pendudukannya di Asia Timur, termasuk  Indonesia. Ketika Jepang menyingkir dari Jawa, menurut peneliti dan  penulis buku tentang Tan Malaka, Harry A. Poeze, koper Slamet masih  penuh uang. Duit ini yang dipakai untuk biaya gerakan politik.
Slamet tinggal di dekat Stasiun Kedungrandu, Kecamatan Patikraja,  Banyumas, 10 kilometer dari Kota Purwokerto. Dulu, perusahaan kereta api  Belanda, Serajoedal Stoomtram Maatschappij dan Serajoedal Staatspoor,  mengoperasikan kereta api Cilacap-Stasiun Raya Purwokerto-Gombong yang  melalui Kedungrandu. Jalur ini melintas di dekat aliran Sungai Serayu.  Tapi pada 1936, dua perusahaan itu bangkrut.
Ada tiga rumah bekas petinggi perusahaan kereta api Belanda di  Kedungrandu. Satu di antaranya ditempati keluarga Slamet. Di kiri-kanan  rumah Slamet terhampar sawah. Di kejauhan tampak bukit-bukit hijau.  Rumah Slamet menghadap ke utara, berpagar pohon petai cina. Di belakang  rumah mengalir Kali Pematusan, sekaligus pembatas rumah dengan sawah.  "Dulu saya suka memetik klandingan (petai cina) di situ," ungkap  Nasirun, 66 tahun, tetangga Slamet.
Rumah berarsitektur Belanda ini telah dilengkapi telepon dan garasi  mobil. Darmuji, 76 tahun, penduduk setempat, mengenal Slamet sebagai  priyayi terpandang dan kaya di Patikraja. Orang kebanyakan, termasuk  Darmuji, umumnya takut bertamu. "Saya dan Den Slamet kan beda," katanya.
Ketika pergi ke Purwokerto, Tan selalu menginap di sini. Di rumah ini  pula Tan bertemu dengan Soedirman sebelum kongres. Slamet dan istrinya,  Martini, memanggil Tan dengan sebutan Ohir. Mungkin diambil dari bahasa  Belanda, ouheer, yang bermakna orang tua. Perintis Gunawan, 49 tahun,  anak Slamet yang kini tinggal di Cireundeu, Tangerang, mendapat kisah  ini dari ibunya.
Jika mendengar kabar mata-mata musuh mencari, Tan segera bersembunyi di  perbukitan. Martini lihai merahasiakannya. "Kalau Tan lari ke selatan,  ibu saya bilang larinya ke utara," kata Perintis. Rumah Slamet dijaga  Nero, anjing peliharaan. Ada juga kolam ikan. Di sini ada ikan yang  dinamai Yopi. "Jika tangan Tan menaburkan pakan, Yopi langsung menyaut,"  kata Perintis, mengingat kisah dari ibunya. Martini, yang kelahiran  Purwokerto, 5 Oktober 1920, adalah aktivis perempuan Muhammadiyah,  Aisyiah. Ia meninggal November tahun lalu.
Rumah Slamet sejak 1977 menjadi gedung Koperasi Unit Desa Patikraja.  Memang, ia telah mengosongkan rumah itu seusai Agresi Belanda II pada  Desember 1948. Ia membangun rumah di atas tanah milik sendiri, satu  kilometer dari rumah lama. Slamet mengembalikan rumah lama kepada  negara. Sejak itu rumah tidak dirawat. Kayu lapuk dan tembok ambrol.  Kini, di atasnya berdiri bangunan baru sejumlah rumah. Bekas Stasiun  Kedungrandu dibeli Si Kuan, pengusaha setempat, untuk penggilingan padi,  yang hingga kini bertahan.
Di rumah baru, Slamet membuka usaha furnitur. Martini menekuni industri  rumah kain batik. Slamet menempati rumah ini hingga ia meninggal 4  September 1966. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanjung  Nirwana, Purwokerto, sebagai perintis kemerdekaan. Kini, meja dan kursi  tempat Tan berdiskusi dengan Soedirman sambil makan masih terawat. Meja  kayu jati bulat telur itu semula hitam. Pelitur ulang mengubahnya  menjadi cokelat.
Gedung pertemuan tempat Kongres Persatuan Perjuangan di Purwokerto itu  sejak 1964 hingga kini menjadi gedung Radio Republik Indonesia di Jalan  Jenderal Soedirman. Menurut Soegeng Wijono, 70 tahun, ahli sejarah  ekonomi Purwokerto, gedung itu beberapa kali berubah nama. Pada zaman  Belanda bernama Societeit. Jepang masuk berganti nama Gedung Asia  Bersatu. Setelah Republik berdiri, disebut Balai Prajurit. "Tapi  orang-orang tua lebih suka menyebutnya Societeit," kata Soegeng.
Untuk menuju Societeit, tempat kongres, Tan berangkat dari rumah Slamet  menggunakan mobil yang ia bawa dari Yogyakarta. Banyak peserta kongres  belum mengenal Tan. Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta terbitan 6  Januari 1946, seperti ditulis Harry A. Poeze dalam bukunya,  menggambarkan peserta rapat terdiam menahan napas menyambut Tan naik  podium.
Koran Indonesia saat itu umumnya terbit hanya dua halaman. Jarang sekali  koran menulis gambaran suasana. Kedaulatan Rakyat melaporkan:
Umur beliau lebih dari 50 tahun. Tetapi kelihatannya lebih muda. Badan  beliau tegap, sehat, kuat, muka tampak segar. Mata agak kecil tapi  tajam. Melihat kerut-kerut wajah beliau, maka kelihatanlah dengan nyata  karakter beliau yang kukuh, kuat, dan berdisiplin. Pakaian sederhana.  Berkemeja dan bercelana pendek dan berkaos kaki panjang.
Nuansa ketidakpuasan menyelimuti kongres. Para peserta tak sepakat  dengan langkah diplomasi Soekarno-Hatta dan Perdana Menteri Sjahrir. Tan  geram dengan para pemimpin yang tak bereaksi atas masuknya Sekutu ke  Indonesia.
Tan mengajukan tujuh pasal program minimum: berunding untuk mendapatkan  pengakuan kemerdekaan 100 persen, membentuk pemerintah rakyat, membentuk  tentara rakyat, melucuti tentara Jepang, mengurus tawanan bangsa Eropa,  menyita perkebunan musuh, dan menyita pabrik musuh untuk dikelola  sendiri.
Menurut Tan, kemerdekaan 100 persen merupakan tuntutan mutlak. Sesudah  musuh meninggalkan Indonesia, barulah diplomasi dimungkinkan. Tan  bertamsil: orang tak akan berunding dengan maling di rumahnya. "Selama  masih ada satu orang musuh di Tanah Air, satu kapal musuh di pantai,  kita harus tetap lawan," katanya.
Jenderal Soedirman tak kalah garang. Ia berpidato di kongres: "Lebih  baik diatom (dibom atom) daripada merdeka kurang dari 100 persen." Para  peserta kongres akhirnya sepakat membentuk Persatuan Perjuangan.
Persatuan kemudian dideklarasikan di Balai Agung, Solo, pada 15 Januari  1946. Kongres Solo disebut Kongres I Persatuan Perjuangan. Dibuka pukul  10 pagi, kongres ini dihadiri 141 organisasi. Panitia mengundang  Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan anggota kabinet.  Tapi, yang datang hanya Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, Jaksa Agung  Gatot Taroenamihardjo, dan Panglima Besar Soedirman. Sultan Yogya dan  Susuhunan Solo mengirimkan wakil mereka. Peserta menginap di Hotel  Merdeka, Solo.
Setelah bendera oposisi dikibarkan di Purwokerto, Tan ditangkap. Ia lalu  dipenjarakan di sejumlah tempat: Wirogunan Yogyakarta, Madiun,  Ponorogo, Tawangmangu, dan Magelang.
Ketika Tan dipenjara di Wirogunan pada 1946, anak muda Murba bernama  Anwar Bey, kini 79 tahun, besuk bersama Abdullah, guru Meer Uitgebreid  Lager Onderwijs Adabiyah Padang, juga orang Pari?Partai Republik  Indonesia. Anwar kelak menjadi wartawan Antara dan Sekretaris Wakil  Presiden Adam Malik. Mereka diutus pemuda Sumatera Barat. Perjumpaan itu  cuma setengah jam dan mereka tak banyak bicara karena diawasi sipir  pendukung Hatta. "Tan hanya bilang teruskan perjuangan," kata Anwar.
Konferensi itu sebenarnya direncanakan berlangsung di Malang, Jawa  Timur, Desember 1945. Ketika itu, laskar dan tentara meninggalkan  Surabaya setelah pertempuran 10 November 1945. Tapi, karena banyak wakil  berada di Jawa Barat dan Jakarta, konferensi dimundurkan. Tan ke  Cirebon menemui wakil-wakil organisasi dari pelbagai daerah.  Selanjutnya, untuk pertama kalinya Tan bertemu dengan wakil organisasi  dari kota-kota di Jawa pada 1 Januari 1946 di Demakijo, Godean,  Yogyakarta. Mereka sepakat bertemu di Purwokerto.
Kelak, pertemuan Purwokerto diakui memberikan sumbangan besar. Ketika  memperingati sewindu hilangnya Tan Malaka pada 19 Februari 1957, Kepala  Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution mengatakan  pikiran Tan dalam Kongres Persatuan Perjuangan dan pada buku Gerpolek  (Gerilya Politik Ekonomi) menyuburkan ide perang rakyat semesta. Perang  rakyat semesta ini, menurut Nasution, sukses ketika rakyat melawan dua  kali agresi Belanda. Terlepas dari pandangan politik, ia berkata, Tan  harus dicatat sebagai tokoh ilmu militer Indonesia.
Tan Malaka: Nasionalisme Seorang Marxis
TAN Malaka meninggal pada usia 52 tahun. Setengah dari usia itu  dilewatkannya di luar negeri: enam tahun belajar di Negeri Belanda dan  20 tahun mengembara dalam pelarian politik mengelilingi hampir separuh  dunia. Pelarian politiknya dimulai di Amsterdam dan Rotterdam pada 1922,  diteruskan ke Berlin, berlanjut ke Moskow, Kanton, Hong Kong, Manila,  Shanghai, Amoy, dan beberapa desa di pedalaman Tiongkok, sebelum dia  menyelundup ke Rangoon, Singapura, Penang, dan kembali ke Indonesia.  Seluruhnya berlangsung antara 1922 dan 1942 dengan masa pelarian yang  paling lama di Tiongkok.
Selama masa itu, dia menggunakan 13 alamat rahasia dan sekurangnya tujuh  nama samaran. Di Manila dia dikenal sebagai Elias Fuentes dan  Estahislau Rivera, sedangkan di Filipina Selatan dia menjadi Hasan  Gozali. Di Shanghai dan Amoy dia adalah Ossario, wartawan Filipina.  Ketika menyelundup ke Burma, dia mengubah namanya menjadi Oong Soong  Lee, orang Cina kelahiran Hawaii. Di Singapura, ketika menjadi guru  bahasa Inggris di sekolah menengah atas, dia bernama Tan Ho Seng.  Setelah masuk kembali ke Indonesia, dia bekerja di pertambangan Bayah,  Banten, dan menjadi Ilyas Hussein.
Pelarian dan penyamaran itu dimungkinkan, salah satunya, karena dia  menguasai bahasa-bahasa setempat dengan baik. Ketika dia ditangkap di  Manila pada Agustus 1927, koran Amerika, Manila Bulletin, menulis, "Tan  Malaka, seorang Bolsyewik Jawa, ditangkap. Dia berbicara bermacam-macam  bahasa: Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Tagalog, Tionghoa, dan  Melayu." Dalam pelarian itu, bermacam-macam pekerjaan sudah  dilakukannya.
Di Amsterdam dan Rotterdam dia berkampanye untuk partai komunis Belanda  pada waktu diadakan pemilu legislatif dan ditempatkan pada urutan  ketiga. Di Moskow dia menjadi pejabat Komintern dengan tugas mengawasi  perkembangan partai komunis di negara-negara Selatan, yang mencakup  Burma, Siam, Annam, Filipina, dan Indonesia. Di Kanton dia menerbitkan  majalah berbahasa Inggris, The Dawn. Di Manila dia menjadi kontributor  untuk koran El Debate. Di Amoy dia mendirikan Foreign Languages School  yang mendapat banyak peminat dan memberinya cukup uang. Di Singapura dia  menjadi guru bahasa Inggris di sekolah menengah atas walau tanpa  ijazah.
Sebelum dibuang ke luar negeri, dia dipenjarakan tiga kali oleh  pemerintah kolonial, di Bandung, Semarang, dan Jakarta. Dalam  pelariannya ke luar negeri, dia dipenjarakan di Manila dan Hong Kong.  Setelah kembali ke Indonesia, dia dimasukkan ke penjara oleh pemerintah  Indonesia di Mojokerto (1946-1947).
Dia mengagumi secara khusus pejuang kemerdekaan Tiongkok, Dr Sun  Yat-sen, yang di kalangan pengikut bawah tanah dipanggil Sun Man. Dia  membaca buku San-Min-Chu-I dan berkesimpulan bahwa Dr Sun tidak sepaham  dengan dia dalam teori dan metode. Menurut Tan Malaka, Dr Sun bukanlah  seorang Marxis, melainkan sepenuh-penuhnya seorang nasionalis. Dalam  metode, dia tidak berpikir dialektis, tapi logis. Namun kesanggupan  analisisnya tinggi, kemampuan menulisnya baik sekali, dan dia seorang  effective speaker. Kekuatan Dr Sun terdapat dalam dua hal lain, yaitu  satunya kata dan tindakan serta tabah menghadapi kegagalan. Usahanya  memerdekakan Tiongkok dari Kerajaan Manchu baru berhasil pada percobaan  ke-17, setelah 16 kali gagal.
Dr Jose Rizal menjadi pahlawan Filipina dan pahlawan Tan Malaka karena  ketenangannya menghadapi maut. Beberapa saat sebelum dia ditembak mati,  seorang dokter Spanyol rekan seprofesinya meminta izin kepada komandan  agar diperbolehkan memeriksa kondisi kesehatannya. Dengan tercengang si  dokter melaporkan bahwa denyut pada pergelangan tangan Dr Rizal tetap  pada ketukan normal, tanpa perubahan apa pun. Ini hanya mungkin terjadi  pada seseorang yang sanggup menggabungkan keyakinan penuh pada  perjuangan, ketabahan dalam menderita, dan keteguhan jiwa menghadapi  maut. Di sini terlihat bahwa Tan Malaka bukanlah seorang Marxis  fundamentalis, karena dia dapat menghargai Dr Sun Yat-sen, nasionalis  pengkritik Marxisme, dan mengagumi Dr Rizal, seorang sinyo borjuis  dengan berbagai bakat tapi menunjukkan sikap satria sebagai pejuang  kemerdekaan.
Kritik Tan Malaka kepada Bung Karno tidaklah ada sangkut-pautnya dengan  sikap Soekarno terhadap Madilog, tapi merupakan kritik yang wajar  terhadap seseorang yang sangat dihormatinya. Dasar kritiknya adalah apa  yang dilihatnya sebagai kebajikan Dr Sun Yat-sen, yaitu satunya kata  dengan perbuatan. Menurut Tan Malaka, ketika memimpin PNI, Soekarno  selalu mengajak penduduk Hindia Belanda yang berjumlah 70 juta jiwa itu  untuk berjuang mencapai Indonesia merdeka dengan menggunakan tiga  pegangan, yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan aksi massa yang  tak mengenal kompromi. Dia memberikan apresiasi tinggi bahwa Soekarno  telah banyak menderita dan dibuang ke pengasingan karena gagasan-gagasan  politiknya.
Maka dia kecewa melihat Soekarno berkolaborasi dengan Jepang selama  pendudukan di Indonesia. Kekecewaan ini disebabkan oleh dua latar  belakang. Pertama, Tan Malaka merasa dekat dengan Soekarno, yang  menerapkan aksi massa dalam perjuangan politiknya hampir sepenuhnya  menurut apa yang ditulisnya di Singapura pada 1926 dalam sebuah brosur  tentang aksi massa. Kedua, dia sangat terpesona oleh perjuangan  kemerdekaan Filipina dengan semboyan immediate, absolute and complete  independence (kemerdekaan segera, tanpa syarat, dan penuh). Kekecewaan  ini sedikit terobati ketika Soekarno-Hatta atas desakan pemuda  revolusioner membuat proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus  1945.
Salah satu karya Tan Malaka yang boleh dianggap sebagai opus magnum-nya  adalah buku Madilog, yang ditulis selama delapan bulan dengan rata-rata  tiga jam penulisan setiap hari di persembunyiannya dekat Cililitan. Buku  itu menguraikan tiga soal yang menjadi pokok pemikirannya selama  tahun-tahun pembuangan, dengan bahan-bahan studi yang dikumpulkan  sedikit demi sedikit, tapi sebagian besar harus dibuang untuk  menghindari pemeriksaan Jepang. Naskah buku ini praktis ditulis hanya  berdasarkan ingatan setelah bacaan dihafal di luar kepala dengan teknik  pons asinorum (jembatan keledai).
Ketiga soal itu adalah materialisme, dialektika, dan logika.  Materialisme diperkenalkannya sebagai paham tentang materi sebagai dasar  terakhir alam semesta. Logika dibutuhkan untuk menetapkan sifat-sifat  materi berdasarkan prinsip identitas atau prinsip nonkontradiksi.  Prinsip logika berbunyi: A tidak mungkin sama dengan yang bukan A. Atau  dalam rumusan lain: a thing is not its opposite. Sebaliknya, dialektika  menunjukkan peralihan dari satu identitas ke identitas lain. Air adalah  air dan bukan uap. Tapi dialektika menunjukkan perubahan air menjadi uap  setelah dipanaskan hingga 100 derajat Celsius.
Madilog adalah penerapan filsafat Marxisme-Leninisme. Tesis utama  filsafat ini berbunyi: bukan ide yang menentukan keadaan masyarakat dan  kedudukan seseorang dalam masyarakat, melainkan sebaliknya, keadaan  masyarakatlah yang menentukan ide. Kalau kita mengamati hidup dan  perjuangan Tan Malaka, jelas sekali bahwa sedari awal dia hidup untuk  merevolusionerkan kaum Murba, agar menjadi kekuatan massa dalam merebut  kemerdekaan politik. Dia bergabung dengan Komintern di Moskow dan Kanton  karena setuju dengan tesis Komintern bahwa partai komunis di  negara-negara jajahan harus mendukung gerakan nasionalis untuk menentang  imperialisme.
Semenjak masa mudanya di Negeri Belanda, Tan Malaka sudah terpesona oleh  Marxisme-Leninisme. Paham inilah yang menyebabkan dia dipenjarakan  berkali-kali dan dibuang ke luar negeri. Ini berarti bukan penjara dan  pembuangan itu yang menjadikan dia seorang Marxis, melainkan sikap dan  pendiriannya yang Marxislah yang menyebabkan dia dipenjarakan dan  dibuang. Selain itu, dia pertama-tama tidak berjuang untuk kemenangan  partai komunis di seluruh dunia, tapi untuk kemerdekaan tanah airnya.
Dengan demikian, hidup Tan Malaka menjadi falsifikasi radikal terhadap  gagasan Madilog yang dikembangkannya. Paradoksnya: dia seorang Marxis  tulen dalam pemikiran, tapi nasionalis yang tuntas dalam semua  tindakannya. Kita ingat kata-katanya kepada pemerintah Belanda sebelum  dibuang: Storm ahead (ada topan menanti di depan). Don't lose your head!  Ini sebuah language game yang punya arti ganda: jangan kehilangan akal  dan jangan kehilangan kepala. Tragisnya, dia yang tak pernah kehabisan  akal di berbagai negara tempatnya melarikan diri akhirnya kehilangan  kepala di tanah air yang amat dicintainya.
Ignas Kleden - Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi 
Tan Malaka, Sejak Agustus Itu
SAYA bisa bayangkan pagi hari 17 Agustus 1945 itu, di halaman sebuah  rumah di Jalan Pegangsaan, Jakarta: menjelang pukul 09:00, semua yang  hadir tahu, mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa.
Hari itu memang ada yang menerobos dan ada yang runtuh. Yang runtuh  bukan sebuah kekuasaan politik; Hindia Belanda sudah tak ada, otoritas  pendudukan Jepang yang menggantikannya baru saja kalah. Yang ambruk  sebuah wacana.
Sebuah wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tapi yang berfungsi di  sini bukan sekadar bahasa dan lambang. Sebuah wacana dibangun dan  ditopang kekuasaan, dan sebaliknya membangun serta menopang kekuasaan  itu. Ia mencengkeram. Kita takluk dan bahkan takzim kepadanya. Sebelum  17 Agustus 1945, ia membuat ribuan manusia tak mampu menyebut diri  dengan suara penuh, "kami, bangsa Indonesia"?apalagi sebuah "kami" yang  bisa "menyatakan kemerdekaan".
Agustus itu memang sebuah revolusi, jika revolusi, seperti kata Bung  Karno, adalah "menjebol dan membangun". Wacana kolonial yang menguasai  penghuni wilayah yang disebut "Hindia Belanda" jebol, berantakan. Dan  "kami, bangsa Indonesia" kian menegaskan diri.
Sebulan kemudian, 19 September 1945, dari pelbagai penjuru orang mara  berduyun menghendaki satu rapat akbar untuk menegaskan "kemerdekaan"  mereka, "Indonesia" mereka. Bahkan penguasa militer Jepang tak berdaya  menahan pernyataan politik orang ramai di Lapangan Ikada itu.
Dua tahun kemudian, meletus pertempuran yang nekat, sengit, dan penuh  korban, ketika ratusan pemuda melawan kekuatan militer Belanda yang  hendak membuat negeri ini "Hindia Belanda" kembali. Dari medan perang  itu Pramoedya Ananta Toer mencatat dalam Di Tepi Kali Bekasi: sebuah  revolusi besar sedang terjadi, "revolusi jiwa?dari jiwa jajahan dan  hamba menjadi jiwa merdeka?.".
Walhasil, sebuah subyek ("jiwa merdeka") lahir. Agaknya itulah makna  dari mereka yang gugur, terbaring, tinggal jadi "tulang yang berserakan,  antara Krawang dan Bekasi", seperti disebut dalam sajak Chairil Anwar  yang semua kita hafal. Subyek lahir sebagai sebuah laku yang "sekali  berarti/sudah itu mati", untuk memakai kata-kata Chairil lagi dari sajak  yang lain. Sebab subyek dalam revolusi adalah sebuah tindakan heroik,  bukan seorang hero.
Dalam hal ini Tan Malaka benar: "Revolusi bukanlah suatu pendapatan otak  yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir  atas perintah seorang manusia yang luar biasa."
Tan Malaka menulis kalimat itu dalam Aksi Massa yang terbit pada 1926.  Dua puluh tahun kemudian memang terbukti bahwa, seperti dikatakannya  pula, "Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai  keadaan."
Itulah Revolusi Agustus.
Tapi kemudian tampak betapa tak mudahnya memisahkan perbuatan yang  heroik dari sang X yang berbuat, yang terkadang disambut sebagai "hero"  atau "pelopor". Sebab tiap revolusi digerakkan oleh sebuah atau sederet  pilihan + keputusan, dan tiap keputusan selalu diambil oleh satu orang  atau lebih. Dan ketika revolusi hendak jadi perubahan yang  berkelanjutan, ia butuh ditentukan oleh satu agenda. Ia juga akan  dibentuk oleh satu pusat yang mengarahkan proses untuk melaksanakan  agenda itu.
Sekitar seperempat abad setelah 1945, Bung Karno, yang ingin menegaskan  bahwa Revolusi Agustus "belum selesai", mengutarakan sebuah rumus. Ia  sebut "Re-So-Pim": Revolusi-Sosialisme-Pimpinan. Bagi Bung Karno,  revolusi Indonesia mesti punya arah, punya "teori", yakni sosialisme,  dan arah itu ditentukan oleh pimpinan, yakni "Pemimpin Besar Revolusi".
Tan Malaka tak punya rumus seperti itu. Tapi ia tetap seorang  Marxis-Leninis yang yakin akan perlunya "satu partai yang revolusioner",  yang bila berhubungan baik dengan rakyat banyak akan punya peran  "pimpinan".
Bahwa ia percaya kepada revolusi yang "timbul dengan sendirinya", hasil  dari "berbagai keadaan", menunjukkan bagaimana ia, seperti hampir tiap  Marxis-Leninis, berada di antara dua sisi dialektika: di satu sisi,  perlunya "teori" atau "kesadaran" tentang revolusi sosialis; di sisi  lain, perlunya (dalam kata-kata Tan Malaka) "pengupasan yang cocok betul  atas masyarakat Indonesia".
Di situ, ada ambiguitas. Tapi ambiguitas itu agaknya selalu menghantui  agenda perubahan yang radikal ke arah pembebasan Indonesia.
TAK begitu jelas, apa yang dikerjakan Tan Malaka pada Agustus 1945. Yang  bisa saya ikuti adalah yang terjadi sejak proklamasi kemerdekaan  bergaung.
Beberapa pekan setelah 17 Agustus 1945, di Serang, wilayah Banten, Tan  Malaka bertemu dengan Sjahrir. Mungkin itulah buat pertama kalinya tokoh  kiri radikal di bawah tanah itu berembug dengan sang tokoh sosial  demokrat. Tan Malaka dan Sjahrir secara ideologis berseberangan; seperti  halnya tiap Marxis-Leninis, Tan Malaka menganggap seorang  sosial-demokrat sejenis Yudas.
Tapi seperti dituturkan kembali oleh Abu Bakar Lubis ?orang yang  menyatakan pernah dapat perintah Presiden Soekarno untuk menangkap Tan  Malaka?dalam pertemuan di Serang itu Tan Malaka mengajak Sjahrir untuk  bersama-sama menyingkirkan Soekarno sebagai pemimpin revolusi. Menurut  cerita yang diperoleh A.B. Lubis pula, Sjahrir menjawab: jika Tan Malaka  bisa menunjukkan pengaruhnya sebesar 5 persen saja dari pengaruh  Soekarno di kalangan rakyat, Sjahrir akan ikut bersekutu.
Ada sikap meremehkan dalam kata-kata Sjahrir itu. Konon ia juga  menasihati agar Tan Malaka berkeliling Jawa untuk melihat keadaan lebih  dulu sebelum ambil sikap.
Jika benar penuturan A.B. Lubis (saya baca dalam versi Inggris, dalam  jurnal Indonesia, April 1992), pertemuan di Serang itu lebih berupa  sebuah perselisihan: sang "radikal" tak cocok dengan sang "pragmatis".
Tan Malaka tampaknya hendak menjalankan tesis Trotsky tentang "revolusi  terus-menerus". Bagi Trotsky, di sebuah negeri seperti Rusia dan  Indonesia?yang tak punya kelas borjuasi yang kuat?revolusi sosialis  harus berlangsung tanpa jeda. Trotsky tak setuju dengan teori bahwa  dalam masyarakat seperti Rusia dan Indonesia revolusi berlangsung dalam  dua tahap: pertama, tahap "borjuis" dan "demokratis"; kedua, baru  setelah itu, "tahap sosialis".
Bagi Trotsky, di negeri yang "setengah-feodal dan setengah-kolonial",  kaum borjuis terlampau lemah untuk menyelesaikan agenda revolusi tahap  pertama: membangun demokrasi, mereformasi pemilikan tanah, dan  menciptakan pertumbuhan ekonomi. Maka kaum proletarlah yang harus  melaksanakan revolusi itu. Begitu tercapai tujuannya, kelas buruh  melanjutkan revolusi tahap kedua, "tahap sosialis".
Ini tentu sebuah pandangan yang terlampau radikal?bahkan bagi Rusia pada  tahun 1920-an, di suatu masa ketika Lenin terpaksa harus melonggarkan  kendali Negara atas kegiatan ekonomi, dan kelas borjuis muncul bersama  pertumbuhan yang lebih pesat. Di Indonesia agenda Trotskyis itu bisa  seperti garis yang setia kepada gairah 1945. Dilihat dari sini, niat Tan  Malaka tak salah: ia, yang melihat dirinya wakil proletariat, harus  menggantikan Soekarno, wakil kelas borjuis yang lemah.
Tapi Sjahrir, sang "pragmatis", juga benar: pengaruh Tan Malaka di  kalangan rakyat tak sebanding dengan pengaruh Bung Karno. Dunia memang  alot. Di sini "pragmatisme" Sjahrir (yang juga seorang Marxis),  sebenarnya tak jauh dari tesis Tan Malaka sendiri. Kita ingat tesis  pengarang Madilog ini: revolusi lahir karena "berbagai keadaan", bukan  karena adanya pemimpin dengan "otak yang luar biasa".
Tapi haruskah seorang revolusioner hanya mengikuti "berbagai keadaan" di  luar dirinya? György Lukács, pemikir Marxis yang oleh Partai Komunis  pernah dianggap menyeleweng itu, membela dirinya dalam sebuah risalah  yang dalam versi Jerman disebut Chvostismus und Dialektik, dan baru  diterbitkan di Hungaria pada 1996, setelah 70 tahun dipendam.
Dari sana kita tahu, Lukács pada dasarnya dengan setia mengikuti Lenin.  Ia mengecam "chvostismus". Kata ini pernah dipakai Lenin untuk  menunjukkan salahnya mereka yang hanya "mengekor" keadaan obyektif untuk  menggerakkan revolusi. Bagi Lenin dan bagi Lukács, revolusi harus punya  komponen subyektif.
Tentu, ada baku pengaruh antara dunia subyektif dan dunia obyektif; ada  interaksi antara niat dan kesadaran seorang revolusioner dan "berbagai  keadaan" di luar dirinya. Tapi, kata Lukács, di saat krisis, kesadaran  revolusioner itulah yang memberi arah. Penubuhannya adalah Partai  Komunis.
Tapi seberapa bebaskah "kesadaran revolusioner" itu dari wacana yang  dibangun Partai itu sendiri? Saktikah Partai Komunis hingga bisa jadi  subyek yang tanpa cela, sesosok hero?
Ternyata, sejarah Indonesia menunjukkan PKI juga punya batas. Partai ini  harus mengakui kenyataan bahwa ia hidup di tengah "lautan borjuis  kecil". Agar revolusi menang, ia harus bekerja sama dengan partai yang  mewakili "borjuis kecil" itu. Ia tak akan berangan-angan seperti Tan  Malaka yang hendak merebut kepemimpinan Bung Karno. Di bawah Aidit, PKI  bahkan akhirnya meletakkan diri di bawah wibawa Presiden itu.
Pada 1965 terbukti strategi ini gagal. PKI begitu besar tapi kehilangan  kemandirian dan militansinya. Ia tak melawan pada saat yang menentukan,  tatkala militer dan partai "borjuasi kecil" yang selama ini jadi  sekutunya menghantamnya. PKI terbawa patuh mengikuti jalan Bung Karno,  sang Pemimpin Besar Revolusi, yang mementingkan persatuan nasional.
Terkurung di bawah wacana "persatuan nasional", agenda radikal tersisih  dan sunyi. Terutama dari sebuah Partai yang mewakili sebuah  minoritas?yakni proletariat di sebuah negeri yang tak punya mayoritas  kaum buruh. Tan Malaka sendiri mencoba mengelakkan ketersisihan itu  dengan tak hendak mengikuti garis Moskow, ketika pada 1922 ia  menganjurkan perlunya Partai Komunis menerima kaum "Pan-Islamis"?yang  bagi kaum komunis adalah bagian dari "borjuasi"?guna mengalahkan  imperialisme.
Tapi ia juga akhirnya sendirian. Sang radikal, yang ingin mengubah dunia  tanpa jeda tanpa kompromi, bergerak antara tampak dan tidak. Ia muncul  menghilang bagaikan titisan dewa. Sejak Agustus 1945, Tan Malaka adalah  makhluk legenda.
Sebuah legenda memang memikat. Tapi dalam pembebasan mereka yang terhina  dan lapar, sang pahlawan sebaiknya mati. Revolusi tak pernah sama  dengan dongeng yang sempurna.
Jakarta, 7 Agustus 2008.
Goenawan Mohamad
Catatan Perjalanan Waktu Tan Malaka, Berakhir di Gunung Wilis 
SEMULA berniat jadi guru, di separuh jalan Ibrahim Datuk Tan Malaka  mengganti cita-cita. Itu bermula ketika ia bersekolah di Rijks  Kweekschool, Belanda. Di Kota Haarlem yang nyaris bangkrut ditinggal  ratusan pabrik bir yang gulung tikar, ia berkenalan dengan sosialisme.  Tapi ia menemukan "laboratorium"-nya sepulang dari Belanda tatkala  menjadi guru anak-anak buruh perkebunan teh Belanda di Deli, Sumatera  Utara. Inilah jejak perjuangan Tan Malaka.
HAARLEM, BELANDA
Teman-teman dekatnya di sekolah memanggilnya Ieb atau Ipie.
1. SUMATERA BARAT
Tan melanjutkan sekolah ke Rijks Kweekschool, Haarlem, Belanda.  Berangkat dari Teluk Bayur, Oktober 1913.
2. HAARLEM, BELANDA
Berkenalan dengan politik.Saat pulang kampung pada November 1919,  cita-citanya cuma satu: mengubah nasib bangsa Indonesia.
3. DELI, SUMATERA UTARA
Menjadi guru sekolah rendah di perkebunan teh Belanda. Hengkang ke  Semarang pada 1921.
4. SEMARANG
Bergabung dengan Sarekat Islam. Aktif menyatukan gerakan komunis dengan  Islam untuk menghadapi imperialisme Belanda. Gara-gara ini, pada 13  Februari 1922 ia ditangkap Belanda di Bandung.
5. JAKARTA
1 Mei 1922, Tan dibuang ke Amsterdam.
6. BELANDA
Menjadi calon anggota parlemen nomor 3 di Partai Komunis Belanda.
7. JERMAN
Melamar menjadi legiun asing, tapi ditolak. Di Berlin, bertemu Darsono,  pentolan Partai Komunis Indonesia.
8. RUSIA
November 1922, mewakili Partai Komunis Indonesia dalam konferensi  Komunis Internasional (Komintern) keempat di Moskow. Diangkat sebagai  Wakil Komintern untuk Asia Timur di Kanton. Pindah ke sana pada Desember  1923.
9. KANTON
Menerbitkan majalah The Dawn dan menulis buku Naar de Republiek  Indonesia pada 1925. Menerima kabar ayahnya meninggal.
10. FILIPINA
Juni 1925 menyelundup ke Manila untuk menyembuhkan sakit paru-parunya.  Memakai nama Elias Fuentes, bekerja sebagai koresponden El Debate.
11. SINGAPURA
Awal 1926 masuk Singapura memakai nama Hasan Gozali, orang Mindanao.  Menulis buku Massa Actie.
12. THAILAND
Juli 1927 mendirikan Partai Republik Indonesia di Bangkok.
13. FILIPINA
Agustus 1927 ditangkap polisi Filipina. Tengah malam, September 1927,  diusir dan dititipkan di kapal Suzanna tujuan Pulau Amoy di Cina.
14. Pulau Amoy (Xiemen)
15. SHANGHAI
Pada 1930 masuk Shanghai dengan menyamar sebagai Ossario, wartawan  Filipina untuk majalah Bankers Weekly. Oktober 1932 pindah ke Hong Kong  karena pecah perang antara Cina dan Jepang.
16. HONG KONG
Tan tertangkap. Pada Desember dibuang ke Shanghai.
17. PULAU AMOY
Kabur dari kapal. Pada 1936 mendirikan sekolah bahasa Inggris dan  Jerman. Ketika Jepang menyerang Amoy setahun kemudian, ia lari ke Burma.
18. SINGAPURA
Ia bisa turun di Singapura, "Namun saya tiada mau memakai kesempatan  itu, karena dengan begitu saya akan kehilangan uang US$ 25," tulis Tan.  Ini uang yang diminta nakhoda sebagai jaminan bahwa dia akan turun di  Rangoon.
19. BURMA
Tiba di Rangoon pada 31 Agustus 1937. Sebulan di Rangoon, ia kembali ke  Singapura.
20. SINGAPURA
Mengajar bahasa Inggris dan matematika di sekolah Tionghoa. Ketika  Jepang menyerbu, ia pulang ke Indonesia melalui Penang pada Mei 1942.
21. PENANG, MALAYSIA
Berlayar ke Medan pada 10 Juni 1942 dengan mengaku sebagai Legas  Hussein. 
 PERIODE JAWA 
DARI Medan Tan memulai petualangan selanjutnya menuju tanah Jawa hingga  akhir hayat.
PADANG
Mampir di Padang, mengaku sebagai Ramli Hussein, lalu melanjutkan  perjalanan ke Lampung.
JAKARTA
Tiba pada Juli 1942, tinggal di daerah Rawajati. Di sini menulis Madilog  dan Aslia.
BANTEN
Pada 1943 menjadi kerani di pertambangan batu bara di Bayah, Banten,  menggunakan nama Ilyas Hussein.
JAKARTA
Menggerakkan pemuda menggelar rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini  kawasan Monas), 19 September 1945.
PURWOKERTO
1 Januari 1946, menggalang kongres Persatuan Perjuangan untuk mengambil  alih kekuasaan dari tentara Sekutu.
MADIUN
Tan dan Sukarni ditangkap di Madiun 17 Maret 1946, karena Persatuan  Perjuangan dituduh akan mengkudeta Soekarno-Hatta. Sejak itu, keduanya  hidup dari penjara ke penjara di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
MAGELANG
Juni 1948, keduanya dipindahkan ke penjara Magelang. Tan menulis Dari  Penjara ke Penjara. Pada 16 September 1948 dibebaskan.
YOGYAKARTA
Tan dan Sukarni mendirikan Partai Murba, 7 November 1948.
GUNUNG WILIS, KEDIRI
Tentara Republik Indonesia menangkap dan mengeksekusi Tan pada 21  Februari 1949 di desa Selopanggung, karena dituduh melawan  Soekarno-Hatta. Kala itu Tan bersama Jenderal Soedirman?yang berjuang di  Yogyakarta?sedang melawan agresi Belanda.
SUMATERA BARAT
Sebelum ke Belanda ditahbiskan sebagai pemangku adat dengan nama Ibrahim  Datuk Tan Malaka.
BEKAS STASIUN SAKETI, BANTEN
Stasiun kereta menuju Bayah, tempat Tan menyaksikan ribuan romusha  sekarat di bawah tekanan Jepang.
Jalan Sunyi Tamu dari Bayah 
Menggagas konsep republik sejak 1925, Tan Malaka justru terlambat  mengetahui proklamasi. Semboyannya membakar semangat dan mengilhami  rapat akbar di Lapangan Ikada.
IA memperkenalkan dirinya sebagai Ilyas Hussein. Datang dari Bayah,  Banten Selatan, pria paruh baya itu bertamu ke rumah Sukarni di Jalan  Minangkabau, Jakarta, awal Juni 1945. Di sana sudah ada Chaerul Saleh,  B.M. Diah, Anwar, dan Harsono Tjokroaminoto. Tamu jauh itu hendak  menghadiri kongres pemuda di Jakarta.
Memakai baju kaus, celana pendek hitam, dan topi perkebunan ditenteng di  tangan, tamu itu disambut tuan rumah. Setelah sedikit basa-basi,  Hussein menyampaikan analisisnya tentang kemerdekaan dan politik saat  itu. Situasi memang lagi genting. Penjajah Jepang sudah di tubir jurang.
Ulasan Hussein tentang proklamasi membuat Sukarni terpukau. Pikiran  Hussein sama persis dengan tulisan-tulisan Tan Malaka yang selama ini  dipelajari Sukarni. Setelah mendengar analisis Hussein, Sukarni makin  mantap: proklamasi harus segera diumumkan.
Sejarah mencatat, Hussein adalah Ibrahim Sutan Datuk Tan Malaka yang  tengah menyamar. Sejak awal Sukarni curiga, tamunya tak mungkin hanya  orang biasa?meski ia tak berani bertanya. "Ia heran, bagaimana mungkin  orang sekaliber Hussein hidup di wilayah terpencil," kata sejarawan  Belanda Harry A. Poeze.
Karni malah waswas. "Ia takut kalau Hussein mata-mata Jepang," kata  Anwar Bey, bekas wartawan Antara dan koresponden Buletin Murba.  Kekhawatiran yang campur aduk memaksa Sukarni memindahkan rapat ke rumah  Maruto Nitimihardjo di Jalan Bogor Lama?sekarang Jalan Saharjo, Jakarta  Selatan. Sebelum pergi, Sukarni meminta tamunya menginap satu malam.  Hussein tidur di kamar belakang.
Pada saat rapat, analisis Hussein mempengaruhi pikiran Sukarni. Ide-ide  Hussein dilontarkannya dalam rapat. "Sukarni mendesak proklamasi jangan  ditunda," kata Adam Malik. Para pemuda setuju.
Sepulang rapat, Sukarni masih penasaran pada Hussein. Tapi lagi-lagi ia  ragu bertanya. Sukarni baru bertemu besok paginya ketika tamunya mau  pulang. "Ia berpesan agar Hussein mempersiapkan pemuda Banten  menyongsong proklamasi," kata Anwar Bey, kini 79 tahun.
Kesaksian itu terungkap pada saat Sukarni memberikan sambutan dalam  acara Sewindu Hilangnya Tan Malaka di Restoran Naga Mas, Bandung,  Februari 1957. Anwar Bey malam itu hadir di sana.
Dari pertemuan itu, Tan sendiri menafsirkan, Chaerul dan Sukarni  mengenal ide-ide politiknya. Tapi ia belum berani membuka jati diri.  "Saya masih menunggu kesempatan yang lebih tepat," katanya dalam memoar  Dari Penjara ke Penjara.
Ia lalu pulang ke Bayah, kembali bekerja sebagai juru ketik. Nama  Hussein tetap digunakan. Saat itu usianya 48 tahun.
HUSSEIN kembali muncul di Jakarta pada 6 Agustus 1945. Ia membawa tas.  Isinya celana pendek selutut, kemeja, dan kaus lengan panjang kumal.  Kali ini yang dituju rumah B.M. Diah, Ketua Angkatan Baru, yang juga  redaktur koran Asia Raya, satu-satunya koran yang terbit di Jakarta.
Utusan Bayah itu menanyakan kabar mutakhir situasi perang. Setelah satu  jam Diah memberikan informasi, Hussein menyatakan pendapatnya. "Pimpinan  revolusi kemerdekaan harus di tangan pemuda," katanya.
Tapi hubungan Hussein dengan Diah berlangsung singkat. Besoknya Diah  ditangkap Jepang gara-gara menuntut kemerdekaan dan menentang sikap  lunak Soekarno-Hatta. Tahu Diah ditangkap, Hussein pulang ke Bayah.
Di sana ia terus bergerak. Tiga hari kemudian dia terlibat rapat rahasia  dengan para pemuda Banten di Rangkasbitung. Pertemuan satu setengah jam  itu digelar di rumah M. Tachril, pegawai Gemeenschappelijk  Electriciteitsbedrijf Bandoeng en Omstreken?Gabungan Perusahaan Listrik  Bandung dan Sekitarnya.
Di sini Hussein mengobarkan pidato yang menggelora. "Kita bukan  kolaborator!" katanya. "Kemerdekaan harus direbut kaum pemuda, jangan  sebagai hadiah." Kekalahan Jepang, menurut dia, tinggal menunggu waktu.
Pidato itu dilukiskan Poeze dalam buku terbarunya Verguisd en Vergeten  Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949.  "Sebagai rakyat Banten dan pemuda yang telah siap merdeka, kami  bersumpah mewujudkan proklamasi itu," kata Hussein di ujung pidatonya.
Bila Soekarno-Hatta tidak mau menandatangani, Hussein memberikan jawaban  tegas: "Saya sanggup menandatanganinya, asal seluruh rakyat dan bangsa  Indonesia menyetujui dan mendukung saya."
Hussein diutus kembali ke Jakarta. Ia diminta menjalin kontak dengan  Sukarni dan Chaerul Saleh. Peserta rapat mengantarnya ke stasiun Saketi,  Pandeglang. Hussein naik kereta ke Jakarta.
SITUASI Jakarta tidak menentu. Kebenaran dan desas-desus berkelindan  satu sama lain. Kempetai, polisi militer Jepang, mengintai di mana-mana.  Para pemuda bergerak di bawah tanah, bersembunyi dari satu rumah ke  rumah lain. Usaha Tan Malaka menjalin kontak dengan pemuda tak  kesampaian.
Kesulitan Tan bertambah karena kehadirannya tempo hari di rumah Sukarni  menyebar dan menjadi pergunjingan. Para pemuda bingung siapa sebenarnya  Ilyas Hussein. Karena itu para pemuda jaga jarak bila Hussein muncul.
Peluang Tan menjalin kontak kian teruk karena sikap hati-hatinya yang  berlebihan. Sebagai bekas orang buangan dan lama hidup dalam pelarian,  Hussein merasa di bawah bayang-bayang penangkapan.
Tan akhirnya berhasil menemui Sukarni di rumahnya pada 14 Agustus sore.  Ia mengusulkan agar massa pemuda dikerahkan. Tapi Sukarni sibuk. Di  rumah itu banyak orang keluar-masuk. Banyak pula hal yang  disembunyikannya, termasuk berita takluknya Jepang.
Ia juga khawatir rumahnya digerebek Kempetai. Itu sebabnya, Sukarni  pergi meninggalkan Hussein. Seperti sebelumnya, ia diminta menunggu di  kamar belakang. Kali ini bersama dua orang yang tak dikenal.
Salah satunya Khalid Rasyidi, aktivis pemuda Menteng 31. Menurut Khalid,  Hussein sempat bertanya di mana tempat penyimpanan senjata Jepang. "Ia  menganjurkan perampasan senjata dalam rangka perjuangan kemerdekaan,"  kata Khalid dalam ceramah di Gedung Kebangkitan Nasional, Agustus 1978.
Khalid juga yakin, Sukarni sudah tahu bahwa Hussein tak lain Tan Malaka.  Soalnya, sebelum Khalid diminta menemui utusan Banten itu, Sukarni agak  lama menunjukkan foto lama orang-orang pergerakan. "Di antaranya foto  Tan Malaka waktu masih muda," kata Khalid. Poeze menyangsikan hal itu.  Menurut dia, Sukarni hanya menduga-duga.
Malam itu Sukarni sempat pulang. Tapi setelah itu menghilang. Hussein  besoknya berusaha menemui Chaerul Saleh di Jalan Pegangsaan Barat 30,  tapi Chaerul tidak ada di rumah. Karena di sepanjang jalan santer  terdengar kabar Jepang menyerah perang, Hussein kembali ke rumah  Sukarni. Tapi usahanya sia-sia.
Hussein tidak tahu, Sukarni dan Chaerul akan menculik Soekarno-Hatta ke  Rengasdengklok. Aksi itu dilakukan karena Soekarno-Hatta ngotot  proklamasi dilakukan melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.  Sedangkan pemuda ingin merdeka tanpa campur tangan Jepang. Setelah  berdebat di Rengasdengklok, Soekarno-Hatta bersedia meneken proklamasi.  Teks proklamasi disiapkan di rumah Laksamana Maeda.
Naskah itu besoknya dibacakan di pekarangan rumah Soekarno, di  Pegangsaan Timur 56. Upacara berlangsung singkat. Penguasa militer  Jepang melarang berita proklamasi meluas di radio dan surat kabar. Itu  sebabnya, Tan tidak tahu ada proklamasi. Ia tahu setelah orang ramai  membicarakannya di jalan-jalan.
Terbatasnya peran Tan itu, kata Poeze, sungguh ironis. Padahal Tan orang  Indonesia pertama yang menggagas konsep republik dalam buku Naar de  Republiek Indonesia, yang ditulis pada 1925. Buku kecil ini kemudian  menjadi pegangan politik tokoh pergerakan, termasuk Soekarno.
Dalam buku Riwayat Proklamasi Agustus 1945, Adam Malik melukiskan  peristiwa itu sebagai "kepedihan riwayat". Sukarni bertahun-tahun  membaca buku politik Tan. Tapi pada saat ia membutuhkan pikiran dari  orang sekaliber Tan, Sukarni sungkan bertanya siapa Hussein  sesungguhnya. "Ia malah membiarkannya pergi jalan kaki, lepas dari  pandangan mata," kata Adam Malik.
Tan juga tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. "Rupanya sejarah  proklamasi 17 Agustus tidak mengizinkan saya campur tangan, hanya  mengizinkan campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan! Tetapi sejarah  tidak mempedulikan penjelasan seorang manusia atau segolongan manusia."
Setelah proklamasi, Tan berusaha menemui pemuda. Tapi mereka terus  bergerak di bawah tanah. Pada 25 Agustus Tan akhirnya datang ke rumah  Ahmad Soebardjo di Jalan Cikini Raya 82. Keduanya pernah bertemu di  Belanda pada 1919. "Pembantu kami mengatakan ada tamu ingin berjumpa,"  kata Soebardjo. Tamu itu duduk di pojok ruangan.
Soebardjo kaget. "Wah, kau Tan Malaka," katanya. "Saya kira sudah mati."  Tan menjawab sambil tertawa. "Alang-alang tak akan musnah kalau tidak  dicabut dengan akar-akarnya." Setelah sempat bersenda-gurau, Soebardjo  menawari Tan tinggal di paviliun rumahnya.
Sejak itu Tan diperkenalkan kepada beberapa tokoh seperti Iwa Koesoema  Soemantri, Gatot Taroenamihardjo, Boentaran Martoatmojo. Ia juga  dipertemukan dengan Nishijima Shigetada, Asisten Laksamana Maeda. Di  depan Nishijima, ia bicara tentang revolusi, struktur politik, gerakan  massa, hingga propaganda.
Nishijima terheran-heran. "Bagaimana mungkin orang yang tampak seperti  petani ini bisa menganalisis segala-galanya dengan begitu tajam,"  katanya. Setelah lebih dari dua jam berbincang, Soebardjo menjelaskan  bahwa kawannya ini tak lain Tan Malaka. Nishijima terkejut. Ia bangkit  lalu menjabat tangan Tan lebih erat.
Kepada tamunya, Soebardjo meminta keberadaan Tan dirahasiakan. Sepekan  menetap di rumah Soebardjo, lewat perantara Nishijima, Tan pindah ke  rumah pegawai angkatan laut Jepang di Jalan Theresia. Ia sempat ke  Banten membangun jaringan gerilya, lalu balik ke Jakarta. Pada pekan  kedua September, ia pindah ke Kampung Cikampak, 18 kilometer sebelah  barat Bogor. Sejak itu ia bolak-balik ke Jakarta.
Di Jakarta, kaum pemuda terus bergerak. Mereka melihat pemerintah tidak  bekerja mengisi kemerdekaan meski kabinet telah dibentuk. "Mereka cuma  kumpul-kumpul di gedung Pegangsaan," kata Adam Malik. "Seperti tidak ada  rencana."
Itu sebabnya, sebagian pemuda mengusulkan demonstrasi. Tapi sebagian  lain ingin membentuk Palang Merah dan mengurus tawanan perang. Pemuda  yang berkumpul di Jalan Prapatan 10, sekarang Jalan Kwitang, terbelah.
Pemuda prodemonstrasi meninggalkan Jalan Prapatan menuju Menteng 31.  "Ini kesempatan kita mempraktekkan Massa Actie," kata Sukarni mengutip  buku Tan yang menjadi pegangan pemuda. Setelah itu mereka membentuk  Komite van Actie. Komite ini mengambil alih sarana transportasi dan  mengibarkan bendera Merah-Putih di mana-mana.
Karena kabinet belum ada kegiatan, Soebardjo?saat itu sudah Menteri Luar  Negeri?meminta nasihat Tan yang lalu mengusulkan agar propaganda  dilakukan lewat semboyan-semboyan. "Tan ikut mengusulkan kata-katanya,"  kata Hadidjojo Nitimihardjo, putra Maruto. Semboyan itu ditulis pemuda  di tembok-tembok, mobil, dan kereta api hingga tersebar ke luar Jakarta,  dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris agar menarik perhatian dunia.
Sejak itu Soekarno mendengar kemunculan Tan. Ia meminta Sayuti Melik  mencarinya. Dua tokoh itu akhirnya diam-diam bertemu dua kali pada awal  September 1945. Pertemuan itu menjadi rahim lahirnya testamen politik.  Isinya: "Bila Soekarno-Hatta tidak berdaya lagi, pimpinan perjuangan  akan diteruskan oleh Tan, Iwa Koesoema, Sjahrir, dan Wongsonegoro."
Kasak-kusuk kehadiran Tan makin santer. Para pemuda membicarakannya di  Menteng 31. Tan saat itu tinggal di rumah Pak Karim, tukang jahit di  Bogor. Sukarni dan Adam Malik mencarinya ke sana. Mereka berhasil  bertemu, tapi ragu identitas Tan. "Apalagi saat itu banyak muncul Tan  Malaka palsu," kata Hadidjojo.
Untuk memastikan, para pemuda membawa Soediro?kenalan Tan di Semarang  pada 1922?beberapa hari kemudian. Sesudah itu mereka membawa guru Halim,  teman sekolah Tan di Bukittinggi. Tan juga dicecar soal Massa Actie  karena banyak Tan Malaka palsu tidak bisa menjelaskan isi buku tersebut.
Maruto bahkan menyarankan agar pemuda tidak begitu saja mempercayai Tan.  Ia rupanya mendengar Tan sudah bertemu Soekarno. Tapi setelah mendengar  kata-kata Tan, kaum pemuda yakin tokoh legendaris itu anti-fasis.
Tan juga sepakat dengan aksi pemuda Menteng 31. "Ia mengusulkan  demonstrasi yang lebih besar," kata Hadidjojo. Demonstrasi digelar untuk  mengukur seberapa kuat rakyat mendukung proklamasi. Ide ini melecut  pemuda menggelar rapat akbar di Lapangan Ikada. "Tan berada di balik  layar," kata Poeze.
Pemuda mendapat kuliah dari Tan tentang perjuangan revolusioner.  Persinggungan pemuda dengan Tan berlangsung antara 8 dan 15 September  1945. Sekelompok pemuda, antara lain Abidin Effendi, Hamzah Tuppu, Pandu  Kartawiguna, dan Syamsu Harya Udaya, diperkenalkan kepada Tan. Sukarni  lalu mengirim Hamzah, Syamsu, dan Abidin ke Surabaya untuk  mengorganisasi para pelaut.
Di Jakarta, kelompok pemuda menggelar rapat. Mereka menyiapkan  demonstrasi pada 17 September?tepat sebulan setelah proklamasi. Tapi  unjuk rasa diundur dua hari. Ada anekdot, tanggal itu dipilih karena  para pemuda jengkel dimaki-maki Bung Karno bulan sebelumnya. "Bung Karno  marah karena pemuda menggelar pawai di taman Matraman pakai obor dua  hari setelah proklamasi," kata Hadidjojo mengutip Maruto, ayahnya.
Pamflet aksi disebar dan ditempel di mana-mana. Sukarni keluar-masuk  kampung, menemui kepala desa, tokoh masyarakat, pemuda, hingga kiai,  agar datang ke Lapangan Ikada. Mahasiswa meminta Soekarno hadir juga.  Tapi presiden pertama itu menolak.
Pada hari yang ditentukan, massa berbondong-bondong datang. Senapan  mesin Jepang dibidikkan ke arah kerumunan. Tapi gelombang massa terus  berdatangan. Jumlahnya diperkiran 200 ribu. Di bawah terik, mereka  menunggu berjam-jam. Salah satu yang hadir almarhum Pramoedya Ananta  Toer. "Itulah pertama kali saya saksikan orang Indonesia tidak takut  lagi pada Dai Nippon," kata Pram, saat itu berusia 20.
Sementara sidang kabinet pagi itu terbelah. Sebagian menteri setuju  hadir di Ikada. Sedangkan yang menolak takut ada pertumpahan darah.  Rapat berjalan alot. Pukul empat sore, Soekarno memutuskan datang  menenteramkan rakyat yang sudah menunggu berjam-jam. "Saya tidak akan  memaksa. Menteri yang mau tinggal di rumah silakan," katanya.
Rombongan Soekarno-Hatta pergi menuju Ikada. Poeze menduga, Tan Malaka  ikut dalam rombongan. "Ia satu-satunya yang memakai topi, jalan  berdampingan dengan Soekarno menuju podium," kata Poeze.
Di mimbar Soekarno berpidato lima menit. Suaranya lunak. Ia meminta  rakyat tetap tenang dan percaya pada pemerintah, yang akan  mempertahankan proklamasi. Massa diminta pulang. Setelah itu, barisan  bubar meninggalkan lapangan.
Hasil demonstrasi itu menyesakkan Tan. Pidato itu, katanya, tidak  menggemborkan semangat berjuang. "Tidak mencerminkan massa aksi dari  rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat."
Gerilya Dua Sekawan 
Tan Malaka dan Jenderal Soedirman sama-sama menentang diplomasi.  Renggang setelah peristiwa Wirogunan.
SLAMET Gandhiwijaya adalah aktivis Murba. Ia tinggal di rumah besar di  dekat stasiun Kedungrandu, 10 kilometer dari Purwokerto, Jawa Tengah.  Tan Malaka kerap datang sembunyi-sembunyi ke rumah itu. Di sana, dia  kemudian bertemu dengan para tokoh Persatuan Perjuangan.
Beberapa kali sepanjang tahun 1946, Tan datang khusus untuk menemui  Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat, Jenderal Sudirman. Perintis  Gunawan, putra bungsu Slamet?kini 49 tahun?mendapat cerita pertemuan  kedua tokoh itu dari ibunya, Martini.
Setiap datang ke rumah itu, Soedirman selalu lebih dulu mencari Herman,  sepupu Perintis. Sang Jenderal lalu menimang-nimang bocah itu sebelum  masuk ke ruang makan. Di situ ia bertemu dengan Tan. "Ibu langsung  disuruh keluar. Dia tidak boleh mengikuti pertemuan," kata Perintis.
Harry A. Poeze, sejarawan Belanda yang banyak menulis buku tentang Tan,  mengatakan kedua tokoh itu berhubungan dekat. Mereka bertemu pertama  kali dalam Konferensi Persatuan Perjuangan di Purwokerto, Januari 1946.  "Mereka mempunyai persamaan pendapat dan ideologi," katanya.
Adam Malik, dalam buku Mengabdi Republik Jilid II: Angkatan 45, bahkan  menyebut Tan dan Soedirman sebagai "dwitunggal". Ia menyamakan hubungan  kedua tokoh dengan relasi Soekarno-Hatta serta Sutan Syahrir-Amir  Syarifuddin. Adam menilai Tan dan Soedirman memiliki urat dan akar di  kalangan pemuda radikal, anggota pasukan Pembela Tanah Air, dan bekas  romusha. "Di bawah pimpinan Tan dan Sudirman, para pemuda itu menyerang  pos dan kubu pertahanan Jepang," Adam menulis.
Keduanya juga diikat kesamaan sikap: menentang jalan diplomasi  pemerintahan Sutan Syahrir. Bagi mereka, "kemerdekaan harus seratus  persen" dan "berunding berarti kemerdekaan kurang dari seratus persen".
Jalan oposisi Tan berbuah penjara. Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin  memerintahkan penangkapannya. Pada 17 Maret 1946 beserta beberapa  pemimpin Persatuan Pergerakan, dia diringkus di Madiun, Jawa Timur. Tan  dijebloskan ke penjara Wirogunan, Yogyakarta. Dua belas pemimpin Barisan  Banteng ditangkap dua bulan kemudian.
Soedirman tidak tinggal diam. Ia memerintahkan Panglima Divisi III Mayor  Jenderal Sudarsono membebaskan semua tahanan pada 3 Juli 1946. Dengan  perintah ini, Sudarsono dan pasukannya menyerbu penjara Wirogunan. Aksi  ini membuat marah Presiden Soekarno. Ia memerintahkan Letnan Kolonel  Soeharto, penanggung jawab keamanan Yogyakarta?kelak menjadi  presiden?agar menangkap Sudarsono.
Setelah peristiwa ini, hubungan Tan dan Soedirman merenggang. Soedirman  menganggap koleganya terlalu jauh menekan Soekarno. Menurut Harry Poeze,  Soedirman juga tidak setuju dengan langkah Tan membantu laskar rakyat  yang secara politik bertentangan dengan tentara.
Adam Malik menulis, Presiden Soekarno berhasil meyakinkan Jenderal  Soedirman untuk meninggalkan Tan. Sebagai balasan, ia mendukung penuh  semua keputusan Sudirman sebagai panglima besar tentara. Sejarah  mencatat, Tan dan Soedirman kembali ke jalan gerilya setelah Agresi  Militer Belanda II pada 1948.
Dalam agresi itu, Belanda menangkap Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Haji  Agus Salim, dan para pejabat pemerintah. Mereka diasingkan ke Bangka.  Sudirman lolos dari sergapan Belanda dan masuk hutan. Ia bergerilya di  Jawa Tengah.
Tan berangkat ke Kediri dengan kereta api khusus, dikawal 50 orang. Ia  bergabung dengan satu brigade Divisi IV Tentara Nasional Indonesia  pimpinan Sabarudin di Blitar, Jawa Timur. Di markas pertahanan Desa  Belimbing, Kediri, ia mendirikan Gabungan Pembela Proklamasi yang  kemudian menjadi Gerilya Pembela Proklamasi.
Ia banyak menulis pamflet yang dia beri nama "Dari Markas Murba  Terpendam". Lewat RRI Kediri, Tan menyerukan rakyat terus bergerilya  melawan Belanda seperti Soedirman.
Sumber: Tempo Edisi. 25/XXXVII/11 - 17 Agustus 2008









Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Komentar Anda !!!!!